Monday, December 22, 2008

Nothingman


Nothingman

Once divided
nothing left to subtract…
Some words when spoken
can't be taken back

Walks on his own
With thoughts he can't help thinking
Future's above
but in the past he's slow and sinking

Caught a bolt of lightning
Cursed the day he let it go
Nothingman...
Isn't it something?
Nothingman...

He once believed
In every story he had to tell
One day he stiffened
Took the other side

Empty stares
From each corner of a shared prison cell
One just escapes
One's left inside the well

And he who forgets
will be destined to remember

Isn't it something?

Nothingman...

Read more...

Monday, December 15, 2008

Teroris Pasirkuda (Part III)

Adalah sebuah keniscayaan, jika anda mengatakan sesuatu yang salah dihadapan mereka, maka pulanglah kalian ke negara asal kalian. Seorang teman baik saya yang bekerja di perusahaan minyak raksasa pernah mengalaminya. Salah menjawab lalu dipulangkan oleh pemerintah negara adidaya itu.

"What is the purpose of your visit?"
adalah kalimat pertanyaan sakti yang akan muncul sebagai 'ibu' dari segala pertanyaan yang mengikutinya. Jika kalian tidak mempersiapkan jawaban jauh hari, maka bersiaplah untuk berperang secara psikologis dengan mereka.

Saya menjawab apa adanya. Tidak melebih-lebihkan, apalagi berbohong. Tapi yang menarik adalah, menjawab seorang petugas yag mungkin dilatih untuk terlihat 'curiga' dan membatasi senyum adalah keasyikan tersendiri. Terlebih petugas wanita ini ternyata berdarah Latinos, terlihat dari nama yang tertera di dadanya. Mulailah psi war ia lancarkan, cara memenangkannya adalah berpikir bahwa dia tidak lebih cerdas dari saya...dan memang, itu adalah suatu kenyataan yang ternyata sangat mutlak.

Dia menanyakan hal-hal teknis mengenai pekerjaan saya, yang saya yakin ketika saya jawab, ia sesungguhnya tidak paham tapi pura-pura paham. Dia menanyakan urusan saya dengan masalah lintas negara, maka saya menjawab sekenanya sesuai dengan pemahaman dia yang segitu-segitunya saja. Terbukti, dia tidak tahu kalau Indonesia bertetangga dengan Australia.

"What has Australia got to do with the possibility of a border dispute with your country?"

are you kidding??? kata saya dalam hati

Sebuah pertanyaan dungu yang membuat saya sedikit mual untuk menjawab. Tapi pertanyaan demi pertanyaan berlalu, dan anehnya dia malah semakin curiga. Saya mulai khawatir, karena sudah 2 jam lebih saya masih disitu juga, sedangkan saya harus segera menuju connecting flight ke Houston.

Entah kenapa tidak lama kemudian dia keluar dari ruangan lalu kembali lagi setelah 10 menit dengan membawa 2 gorilla yang lain. Jadilah pertarungan antara 3 orang dungu melawan satu pemuda dusun dari Pasirkuda yang kelelahan. Salah satu dari ketiga orang itu menunjukkan sesuatu pada saya. Sebuah dokumen yang menyatakan bahwa saya sudah mengunjungi beberapa negara yang masuk kedalam list negara paling dicurigai.

"Anda ngapain aja ke negara-negara ini berkali-kali ditahun sekian dan tahun sekian...?"
Kata salah satu gorila itu.

"Dinas..." saya jawab singkat.

"Mana ada dinas didaerah konflik?"

"Kenapa tidak? tentara amerika saja dinas di negara konflik"

"Ya, tapi anda bukan tentara!" dia mulai kepanasan

Waktu berlalu, saya mulai merasa seperti copet Pasar Senen yang sedang diinterogasi polsek Jakarta Timur. Perdebatan berlangsung hangat, dan samar-samar saya sudah melihat Guantamo Bay di pelupuk mata haha...

Dan ketika salah satu dari mereka mengangkat telfon, saya menduga dia akan memanggil lagi petugas, mungkin orang NSA, alias sekelompok gorila yang agak intelek sedikit, saya mulai melancarkan senjata pamungkas.

"wait...!"

Mereka menghentikan aktivitasnya, lalu menatap saya dalam-dalam.

"I have a message from your government" lalu saya keluarkan surat sakti dari pemerintahnya sendiri yang menyatakan siapa saya. Mereka membacanya, lalu terdiam.

"Excuse me sir, may I call these people?" katanya seraya menunjuk beberapa list nama orang penting di lembaga yang sangat penting pula. Tidak lama kemudian terdengar si gorilla itu seperti dimarahi oleh orang yang tertera di surat itu, tampak dari cara dia menjawab telfon dengan nada yang rendah dan kebanyakan 'sorry' nya. Tidak lama kemudian, dia masuk dengan muka agak merah dan langsung berdiskusi dengan teman-temannya. Mereka kelihatan grogi.

"err...I really am sorry sir, you didn't confirm us that you...."

Lebih mengharukan lagi haha..salah satunya menawarkan kopi...

Apa sih surat itu? saya tidak dapat menceritakannya disini, tapi surat itu erat kaitannya dengan sejarah saya ketika saya dinas di salah satu lembaga pemerintahan milik mereka, dan kebetulan sekali lembaga itu berada dibawah Presiden Amerika Serikat secara langsung.

Akhirnya saya diperbolehkan pergi dengan tenang. Lalu kalian pasti bertanya kenapa tidak dari awal saja saya keluarkan surat sakti itu.

Wah cuma saya yang tahu. Orang Pasirkuda juga boleh dong sekali-sekali mengetes kehebatan orang Amerika hehe.........

Ternyata "teroris Pasirkuda" agak lebih baik lah sedikit.

~end

Read more...

Sunday, December 14, 2008

Teroris Pasirkuda (Part II)

Dua gorilla berseragam hitam-hitam dan terlihat sangar. Mungkin kebanyakan makan Mc Donald hehe...lucunya yang satu pakai kacamata hitam padahal berada di dalam ruangan. Mungkin untuk mengecoh orang-orang yang dicurigai yang menyangka dia sedang tidak memerhatikannya.

"Follow the yellow line..." kata gorila yang ber sun glasses, Boro-boro ada tambahan "please" nya, kalau di pasirkuda orang ini sudah wafat dari kemarin.

Saya melihat kebawah, ah ternyata benar-benar ada garis kuning yang memanjang dan kalau diikuti ternyata menuju sebuah ruangan, mungkin ini tempat interogasi. Kalau saya pikir sih lumayan bodoh juga, kenapa pakai garis kuning kalau saya toh akhirnya dikawal juga oleh mereka menuju ruang interogasi...mending garis kuningnya dibuat kotak terus dikasih net ditengahnya, jadilah lapangan bulutangkis hehe...

"dasar kehed sia" kata saya perlahan

"Sorry?" kata salah satu petugas yang mengawal saya

"No..I said Im just tired" jawab saya sekenanya. Dalam hati, kapan lagi saya bisa memanggil dua badut ini dengan istilah 'protokoler' khas Pasirkuda country.

Tidak lama kemudian tibalah saya disebuah ruangan terpisah, mungkin sekitar 500 meter dari tempat pengecekan imigrasi tadi. Ruangan itu tidak berpintu, ada kursi yang berderet, dideretan pertama tampak sepasang suami istri berwajah Arab, dan satu orang lagi di baris kedua, seorang pemuda dan anehnya saya perhatikan, dia memegang paspor Kanada. Tapi saya tak begitu mengindahkannya. Selama menunggu disitu terlihat para petugas dengan size XL berseliweran. Samar-samar saya perhatikan nama mereka yang tertera didada. Kalau tidak salah nama-nama yang muncul adalah yang berbau latinos dan hanya segelintir yang berbau Amerika.

"Mr Sukendar...follow me please" sorang petugas berbadan tambun memanggil saya.

Saya terbangun dari lamunan, ah orang ini masih sopan, dia mengggiring saya kesebuah ruangan, mungkin sekitar 3 x 3 meter dan didalamnya ternyata sudah ada seorang petugas wanita yang cemberut. Saya katakan cemberut karena sepanjang interogasi itu, seingat saya, petugas ini tidak pernah tersenyum barang sekalipun.

Sebelum mengatakan apa-apa, petugas ini membulak-bailikan paspor dan secarik dokumen yang telah saya isi sebelumnya, lalu dia mulai bicara.

"From Indonesia huh?"

Sebenarnya atas pertanyaan tersebut saya gatal menjawab seperti ini,

"Bukan mbak, saya dari Nigeria"

"Coba baca lagi paspornya mbak, siapa tau terbalik"

Mungkin dia ingin menaikkan wibawanya dengan sedikit intimidasi, padahal malah jadi kelihatan dungu. Saya yakin, dia pasti berpikir saya datang dari negara antah berantah yang tidak ada listriknya, dan orang-orangnya masih pakai koteka kalau bepergian.

Lalu dia menyuruh saya mengeluarkan dompet saya, dan saya disuruh mengeluarkan seluruh isinya. Kebetulan hanya ada tidak lebih dari seratus dolar, karena dalam perjalanan dinas saya dibekali gold card untuk menarik uang di ATM sini jadi tidak perlu repot-repot membawa dolar. Disela itu ada juga uang sisa jajan di Jakarta, saya lupa jumlahnya cuma ada beberapa lembar uang seribuan dan uang seribuan itulah yang dia cek pertama.

"This is a lot isn't it?" katanya yakin

"Mam, even if you had 5 more of those and convert it to dollar, it's not going to get u a biscuit, hehe" kata saya mencoba mencairkan suasana. Tapi petugas itu malah diam saja, dingin, mengingatkan saya pada kepala sekolah SMA saya dulu Mrs. Pierce, yang menurut saya cuma tersenyum sekali seumur hidupnya.

Lalu dimulailah komedi 3 jam yang membawa saya pada sebuah petualangan yang akan saya kenang selamanya...

(BERSAMBUNG)

Read more...

Friday, December 12, 2008

Teroris Pasirkuda (Part I)

Kira-kira orang Indonesia dikenal oleh dunia seperti apa? Ramah, murah senyum, jorok, korup, atau yang lainnya? Saya pikir setiap orang punya perspektif yang berbeda-beda, tapi ada istilah common perspective alias pandangan umum yang tumbuh menjadi semacam kesepakatan sosial antar satu individu dengan yang lainnya. Proses terjadinya lebih sering diciptakan dari apa yang mereka dengar dan mereka lihat di media massa. Sudah pasti kebanyakan tidak pernah berinteraksi dengan subjek nya karena berapa persen sih misalnya orang Amerika yg pernah datang ke Jakarta? Paling kurang dari satu persen. Sisanya Cuma melihat di TV, itu pun kebetulan.


Long stories short, saat ini banyak yang menilai kita sebagai bangsa teroris. Marah? Saya rasa tidak perlu karena tidak akan menyelesaikan masalah. Tapi saya ingin berbagi cerita mengenai pengalaman saya di interogasi oleh Home Land Security Amerika Serikat selama hampir tiga jam. Saya tidak ingat semuanya tapi kurang lebih akan saya ceritajan dibawah ini.

Tapi sebelum saya bercerita tentang kejadian di LAX (Los Angeles International Airport), saya ingin cerita dulu penggalan pengalaman saya di Narita Airport Tokyo. Setelah saya cek in, saya bergegas menuju terminal yang dituju. Saya agak mulai sebal dengan international travel saat itu, karena paspor Indonesia itu membuat saya sangat dicurigai, padahal dari setelan saja tidak ada seram-seramnya. Ok lah, jujur aja, saya mulai jenuh dengan pertanyaan “What is the purpose of your visit?” sekarang mana ada sih orang yang menjawab seperti ini:

“Ini pak, cuma mau meledakan gedung parlemen”
“Gak banyak, paling menghabisi orang-orang sini, terus pulang”
“mau ketemu kepala yakuza”

Pathetic huh?

Nah, ketika berada di Narita yang bertanya bukanlah seorang petugas custom, tapi petugas airline yang berdiri diterminal. Ketika yang lain dibiarkan berlalu sambil menunjukkan paspor, badut itu malah memegang saya. Aneh sekali, karena biasanya penumpang itu ditanya saat berada di negara tujuan. Kebetulan saya dalam perjalanan ke Amerika Serikat. Dicengkramnya bahu saya, terus dengan bahasa Inggris yang sangat minim dan tidak jelas, dia menanyakan tujuan saya ke Amerika...karena kesal, saya jawab sekenanya,

“Im going to see your mother…”

hahaha....dia cuma bengong-bengong saja karena saya pikir toh dia tidak paham apa yang saya katakan, dan sayapun terus bergegas menuju pesawat. Seorang penumpang yang saya perkirakan warga negara Amerika yang ada disebelah saya juga terlihat tersenyum mendengar jawaban saya. Ok, mungkin saya gila, karena bisa saja saya ditangkap, tapi sumpah pada saat itu saya sudah pusing ditanya seperti itu ditengah internasional travel yang menjenuhkan.

Kalau di LAX, kejadian seperti ini hampir berulang. Karena sudah berkali-kali orang-orang Homeland Security nya sudah mengenal wajah saya dan suka tersenyum-senyum. "Im sorry sir, we're just doing our job" katanya tenang.

Tapi akan saya ceritakan pengalaman pertama kali saya harus berurusan dengan mereka. Sebuah pengalaman yang akan membekas dalam petualangan hidup saya, dan membangkitkan jiwa "ke-pasirkuda-an" saya haha....

Awal dari pengalaman ini adalah ketika saya dihadang dua gorila yang besar-besar ....

(BERSAMBUNG)

Read more...

Monday, December 8, 2008

Bandung's Last Flower

Kalau anda kebetulan berada di kota Sydney dan naik MRT diseputar City Circle, berhentilah di stasiun St James Park. Keluarlah melalui exit bagian utaranya yang menghadap ke Sydney Harbor. Seberangilah jalan yang berada tepat di mulut exit itu, anda akan menjumpai sebuah taman yang ditumbuhi pepohonan yang rindang dan hamparan rumput nan hijau. Telusurilah jalan setapak menuju ke arah barat, tepat diujungnya, seberangilah jalan yang memisahkan taman itu dengan gedung-gedung tua yang berderet dengan megah. Diujung sebelah kiri ada sebuah gedung yang tampak lebih anggun dibanding yang lainnya, dengan arsitektur gothic yang menawan. Itulah tempat saya dulu, menghabiskan hari-hari sepulang sekolah, The Sydney Central Library.


Teman-teman saya dulu tahu, disitulah saya sering menghabiskan waktu. Kata mereka saya mengidap Schizophrenia, padahal saya cuma rindu pada tanah air. Lalu apa hubungan perpustakaan itu dengan Indonesia, jawabannya tidak lain adalah karena di perpustakaan itu, terdapat berbagai artikel dan foto-foto yang berkaitan dengan Indonesia.

Begitu rindunya saya pada tanah air, bak orang yang dahaga akan air dihamparan pasir yang gersang, sebuah foto bukit di pulau jawa saja ibarat air dingin yang jatuh dari langit, menyejukan kalbu yang ditimpa rindu tak terperi. Pada saat itu internet belumlah memasyarakat, foto-foto dari archive perpustakaan itulah yang menjadi jembatan kerinduan saya pada tanah air saat itu.

Adapun hari yang tak terlupakan itu di musim panas menjelang liburan sekolah, tepatnya hanya beberapa bulan menjelang kepulangan saya ke tanah air, saya membuka buku-buku di section South East Asia, mata saya tertuju pada sebuah buku yang mengilustrasikan pulau Jawa.

Tidak lama kemudian, tenggelamlah saya dalam keasyikan yang dalam, sebuah ketertarikan yang teramat sangat sederhana, namun tak terlukiskan dalam kata-kata. Tak lama lagi saya akan pulang, dan tepat pada saat itu mata saya tertuju pada sebuah sub section, tentang sebuah kota yang dipagari oleh gunung-gunung nan menjulang, orang menyebutnya kota kembang.

Teman-teman sesama pelajar disini pernah tenggelam dalam sebuah obrolan yang mengasyikan mengenai Bandung. Salah satu dari mereka pernah bilang,

"Why it was renown as the flower city, had nothing to do with flowers...it's the beauty of the Bandung ladies that resemble it"

Saya suka tersenyum kalau mengingat itu, karena bapak saya besar dan sekolah di Bandung, saya sendiri memiliki saudara yang tersebar di kota itu, benar sekali adanya, sejauh ingatan saya, no cities can beat the beauty of Bandung girls.

15 Tahun Kemudian...

"I love you too kang.." adalah barisan kalimat dari seorang gadis Bandung yang menghentikan detak jantung saya beberapa saat, disaat mahligai yang saya bangun berada di jurang kehancuran, menyisakan puing-puing yang berserakan, memanas seperti bara yang semakin merona.

Tidak akan ada orang didunia ini yang dapat menuliskan nasibnya sendiri, merangkainya menjadi sebuah kata-kata lalu mengarahkannya sekehendak hati dan akal sehatnya. Pertemuan saya dengan dirinya tidak pernah diawali dengan niat yang tertuliskan. Dia seperti seorang peri yang datang lalu menghilang di penghujung hari, seperti air kembali ke lautan, seperti gelap kembali ke malam, dan seperti hijau kembali ke dedaunan...

Adalah suatu saat, ketika ia duduk hanya dipisahkan oleh sebuah meja kecil, tak sadar pula ia saya perhatikan, very attractive, energetic, and spontaneous, and above all adalah cara dia menundukkan pandangannya ketika saya menatapnya, menyembunyikan sepasang mata yang indah. Senyum dan tawanya yang renyah menghempaskan tembok-tembok yang menjaga relung hati dan ketabuan.

Terhenyak saya dimalam-malam yang sunyi di kota hujan, merenung sendiri ditengah kebuntuan, defeat and humiliation. Apakah ini ya Allah, ujian terbesar yang akan pernah kau berikan, atau inikah jawaban dari doa yang tak henti akan sebuah mahligai yang kokoh dan dilandasi oleh cinta yang menyejukkan.

Disini, dihamparan teras rumah ini, bayangannya hadir. No one would have predicted that the city of flowers will be so phenomenal to me as it is today. Long list of brothers and sisters suddenly emerged from this one city that I hardly recognize.

If this is a dream, don't let me be awake, but if I'm awake, don't let me fall asleep. Adalah ungkapan hati yang jujur dari dalam diri saya saat ini. Tapi, waktulah yang akan menjawabnya. Tapi untuk saat ini, kota itu menyimpan sepasang mata yang indah, yang selalu menanti, and she will remain to me, Bandung's last flower...





Read more...

Tuesday, December 2, 2008

Does she...

Does she notice...at that one moment, when we sat by the bench only inches apart, I never even cared what she was saying? for I was dumbfounded, lost my words and breath.

I couldn't have challenged the way she stares at me, not even a glance. I would've lost anyway even if I did...


Why I would go that far just to hold her, does she notice? at all?


It's cold now, don't mind the fallen leafs and drizzle...I've fallen too many times anyway, it takes great falls to turn one into a man. For I am now, but still...can't beat those eyes, endlessly crushing me. Ever so gorgeously created...


All the forts and bridges suddenly crumbles, weakened...


Rain City ~ Dec 2008

Read more...

Sunday, November 30, 2008

Cabe Bandung Vs Cabe Texas

Bagaimanakah mengukur rasa pedas menurut lidah orang-orang dari mancanegara. Apakah rasa pedas di lidah orang Indonesia tidak ada artinya dibanding rasa pedas orang Mexico? atau sebaliknya? cerita yang akan saya tulis ini sedikit mengena pada rasa pedas itu sekaligus menyerempet kebanggaan seseorang terhadap kedigdayaan bangsanya bukan saja dari segi ekonomi dan militer, akan tetapi juga akan rasa pedas yang menurutnya tak tertandingi di seantero dunia.

Di pertengahan 2007, seorang petinggi dari Houston Martin Thaler, yang juga merupakan teman dekat saya ketika di Houston dulu melakukan 'Tour of Duty' ke Indonesia. Karena memang dasarnya seorang petinggi, maka dia punya hak yang tak terbantahkan mengenai siapa yang harus mendampinginya selama di tanah air. Tidak jauh dari dugaan saya memang, ketika disuatu pagi salah satu Vice Presiden perusahaan memanggil saya dan mengatakan bahwa Martin cuma ingin ditemani oleh saya selama di Indonesia untuk mengontrol beberapa fasilitas on shore dan off shore perusahaan ini.


Saya tidak begitu keberatan akan tugas tersebut, tapi yang membuat keadaan berbeda adalah ketika di Houston dulu Martin belum menjadi 'petinggi' alias masih bisa saya ajak nongkrong di restoran saat weekend dan belum ada rasa canggung terhadapnya. Kini, tentu saja sudah berubah, tapi tak apalah, toh memang dia yang meminta bukan?

Beberapa hari kemudian, tibalah Martin di Indonesia, masih dengan perawakan Texas-nya yang gempal lengkap dengan aksennya yang kental itu. Ah, masih seperti yang dulu.

Nasib berkata lain. Ketika akan melakukan inspeksi ke Laut Cina Selatan, pesawat dari Halim penuh. Maka kita punya tiga hari yang kosong yang akan terbuang. Atas saran VP, akhirnya saya memutuskan untuk mengak Martin jalan-jalan ke Bandung via Ciater.

"Saya tidak menyangka Indonesia punya jalan tol sepanjang ini.." katanya ketika kita bergerak di tol Cikampek menuju Cipularang.

Saya cuma mesem-mesem saja, ya maklumlah, orang Amerika, saya pikir begitu.

Kita tiba di daerah Ciater tepat sebelum jam makan siang dan menghabiskan waktu di kawah tangkuban perahu kemudian setelah puas kami pun bergerak untuk mencari makan.

"Kamu mau makan barat atau Indonesia?" tanya saya pada Martin. Padahal saya tidak mengenal daerah itu sama sekali, saya cuma berharap ada Mc Donald atau KFC yang bisa menyelamatkan makan siang orang Texas ini.

"Boleh lah kita coba makanan lokal, itung-itung berpetualang hehe.." Martin kelihatannya tidak begitu mempermasalahkannya. Ah sukurlah..

Akhirnya saya memutuskan untuk makan di sebuah restoran Sunda yang kelihatannya sangat representatif dan bersih. Saya suruh supir untuk masuk kepelataran parkir, kami berdua pun masuk ke restoran itu.

Karena berada di sebuah resoran, maka pembicaraanpun tak jauh dari soal makanan. Saya tuntun orang Texas itu untuk memesan makanan yang kira-kira pas dilidahnya seperti ayam goreng, masakan yang ada sapinya (orang Texas kalau makan hampir selalu harus ada daging sapinya). Saya memesan makanan kesukaan saya disamping ayam, yaitu petai yang digoreng dan sambal terasi.

Ketika hidangan sudah ada didepan mata termasuk tahu goreng beserta cabai rawitnya, saya memperingatkan Martin untuk tidak menyentuh segala sesuatu yang berbau cabe, karena saya bertanggung jawab atas keadaannya disini. Bagaimana kalau dia tiba-tiba sakit perut? terus pingsan karena rasa pedas cabe rawit yang mana tahan itu.

"ah..gak masalah" katanya lantang setelah saya peringatkan

"Teman, masak kamu lupa, di Texas cabe itu biasa kami kunyah seperti kamu mengunyah nasi haha..." katanya meyakinkan

"Coba kamu lihat cabe itu" sambil menunjuk ke cabe rawit yang mendapingi tahu..

"Itu cuma seujuung kuku dari size cabe jalepano yang lebih besar dari ini" katanya sambil memegang ibu jarinya yang memang jumbo untuk memperagakan betapa besarnya cabe Texas yang dia maksud.

"Ok, baiklah kalau kamu memaksa, tapi saya tidak bertanggung jawab yah"

"Tenanglah teman, jangan khawatir, sekarang mana tadi cilli paste (sambel cobek) yang kamu maksud?"

Kemudian Martin menuangkan bukan satu sendok sambal terasi, tapi beberapa! duh, memangnya dia pikir ini saos tomat! yang lebih parah, ia adukkan sambal itu dengan nasi dan mulailah petualangnnya mencicipi cabe rawit made in Bandung itu.

Tidak lama kemudian dia cicipi juga cabe rawit beserta tahunya.

"Teman, ini adalah cabe terkecil yang pernah saya lihat, harusnya saya bawa pulang untuk suvenir haha.." katanya. Saya cuma tersenyum, lalu meneruskan makan.

Saya akhirnya berkonsentrasi penuh terhadap makanan karena asyik dengan petai dan sambal. Tapi tidak beberapa lama kemudian, tiba-tiba saya menyadari wajah Martin semakin memerah dan ia sudah meminum air es lebih dari tiga gelas. Dia terbatuk-batuk dan bibirnya seperti agak bengkak dan memerah. Saya mulai khawatir.

"Martin, kamu gak apa-apa kan?"

Martin mengibas-ngibaskan tangannya untuk menunjukkan bahwa dia baik-baik saja

"Gak apa-apa teman, saya hanya tersedak"

"Benar kamu cuma tersedak?" tanya saya lagi

"Iyah...makanan ini agak asing, jadi mulut saya belum terbiasa, oh tolong pangilkan waiter saya minta tambahan air dingin!"

Secepat itu pula saya panggil pelayan untuk membawakan satu jug besar air dingin beserta es nya. Belum juga pelayan itu menaruh jug beserta gelasnya, benda itu langsung disambar Martin, dan ia langsung minum dari jug. Saya cuma terpana dan kembali mengulang pertanyaan saya sebelumnya untuk memastikan orang Texas ini baik-baik saja.

"Tidak apa-apa, mungkin juga saya kepanasan, udara disini membuat kita terus berkeringat."

Ok lah, mungkin juga cuaca panas, tapi ini lembang! dan cuaca lumayan adem hari itu. Tapi jauh dilubuk hati saya yang paling dalam, saya merasa orang ini kepedasan. Dia disengat oleh cabe rawit made in Bandung yang dasyat. Jujur saja, saya yang makan sambal terasi itu juga kepedasan, tapi reaksi saya sedang-sedang saja karena sudah terbiasa.

Cabe nya boleh saja kecil dan kurang meyakinkan, tapi kalau sudah dikunyah oleh orang yang belum pernah merasakannya, tamatlah dia. Cabe jalepano yang jumbo pun tidak ada apa-apanya kalau dibanding cabe yang ini.

Dalam perjalanan menuju Bandung dari Lembang, Martin lebih banyak diam, mungkin masih lapar karena saya lihat dia tidak menghabiskan makanannya. Dia dikalahkan ego-nya sendiri. Lalu saya pecahkan keheningan.

"Hey, nanti kamu akan aku ajak belanja di Bandung, kita ke tempat-tempat yang eksotis, dan malamnya kita diner dimanapun kamu suka, mungkin seperti yang tadi Martin?"

Martin menoleh kearah saya saat itu juga, lalu menjawab

"nggak lah, kita cari McDonald saja..."


DIS - Bandung sometime in June 2007

Read more...

Thursday, November 27, 2008

The Beginning

Can a man write his own destiny?

It was a question poised by a friend on a beautiful evening by the Chao Phraya River in Bangkok. The lights from buildings nearby reflects on the water flow down below creating a fantastic crystal like movement, then it flashes twinkling lights under the shimmering moonlight.

The evening was too beautiful to describe, and such a question suddenly became all too sentimental which does require sentimental answer.

I had never planned my life, unlike the mighty Chao Phraya that is shaped in each and every turn and twist, then the water helplessly ends in the Gulf of Thailand and into the South China Sea. I never knew what I've always wanted to be.

One thing for certain, it has been a fantastic journey that began in small village on the foot of the Salak mountain, a journey that took me to major corners of the world leaving stories behind, memories and 'life' as you'd call it, great friends and 'counterparts' in Sydney, Bangkok, Washington, Houston, Singapore, Jakarta, and of course the rain city.

The stories will be kind to me, for I intend to write it...

Read more...