Friday, July 31, 2009

Jalan Kenari II (End)

Jika sungai Potomac mengalir dan berakhir di tempat saya dibesarkan, niscaya akan saya telusurinya. Semakin jauh jaraknya semakin lama saya bisa melupakan hiruk pikuk kehidupan, dan kala pada akhirnya berakhir, semua orang sudah tua atau sudah mati, sudah lupa, dan sudah mengindahkan apa yang dibicarakannya kini.

Tapi kenyataannya tidak demikian, saya telah kembali ke Jakarta dan menghabiskan sebagian waktu di Bangkok. Entah kenapa Ibukota Thailand itu tidak terlalu mengesankan seperti dulu. Saya pikir suasana hati sangat besar berperan mewarnainya menjadi abu-abu yang kelam, terpinggirkan, dan tak terhiraukan.

Cinta saya kepada perempuan itu tidak sepanjang jalur sungai Potomac yang membelah kota Washington, atau sedalam Chao Phraya yang menghujam kota Bangkok, cinta itu melebihinya. She's all I have. Tapi hidup memiliki alur cerita yang tak terduga, begitu misterius dan kadang menusuk ke lubuk hati yang terdalam. Kini saat saya menjalankan apa yang selama ini ia inginkan, dia sudah berlalu dan membisu.
Mentertawakan saya di social networking site kesayangannya, hilarious though…I actually smile whenever I look at her comment, saya mengagumi cara ia menuliskannya, she’s witty, the way she puts me down in front of my friends and the public is like a cold blooded assassin and I enjoyed it, that applies to those pair of eyes that kills me every time she puts her head down, blushing…killing my conscience, loosing direction, and unaware of where I was. I can still feel her lips on mine, so gentle so sweet, nothing can beat that in my life time.

I’m all alone now, as predicted, menelusuri alur kehidupan dibelantara mimpi dan kenyataan sendirian. I couldn’t have made a quick decision at the time to be with her when I had the chance, I had debts to pay, but she didn’t understand my message. I have committed myself to my promise for her, but it seems the ship has drifted away into the middle of the raging sea of anger.

#

Jika sungai Potomac mengalir sampai tempat saya dibesarkan, di Jalan Kenarilah ia akan berakhir. Tak akan ada titian yang dapat menyebranginya, ia adalah ikatan hati ke hati yang takkan runtuh dimakan zaman. Crescent, will leave peacefully and seek a beautiful life, and Canary Road will witness a journey of two hearts and shed of tears of two lovers who shall not end, though not together…

This will probably be the last of my life story...I seek no interest in continuing to write for she was the reason I write in the first place...now I have no reason to do so. It's been an exciting journey but I will have to say goodbye.

"Once you asked me to choose; my life or your life? I choose mine for now and will seek you when I’m done, but then you left not knowing you are my life"

End~

Read more...

Monday, June 22, 2009

crescent

crescent
light bestowed upon your side
for I am the other half,
dark and unseen..




Bangkok sometime in May

Read more...

Thursday, March 26, 2009

Jalan Kenari (Part I)

“For those who can dream, nothing is faraway..."



Gunung Salak berdiri kokoh di selatan kota Bogor dengan tujuh undakkannya yang menjadi ciri khas gunung itu. Kalau dari bekas rumah saya di Pasirkuda, jika hari sangat cerah, tujuh gundukan yang terkenal itu terlihat jelas, ketujuhnya menurun dan memagari kawah bekas letusannya yang terakhir di tahun 1938 yang menghasilkan erupsi freatik yang terjadi di Kawah Cikuluwung Putri
Gunung itu masih aktif kini, dan jika meletus sekarang, Sukabumi-lah yang akan paling merasakan hantamannya karena posisinya yang lebih rendah, walaupun sudah dipastikan, Bogor tidak akan luput dari efek letusannya, karena tujuh gundukan gunung itu sesungguhnya memagari sisi Sukabumi dan menyisakan pagar yang jauh lebih “pendek” yang menghadap ke Bogor.

Gunung itu terlihat lebih indah jika dilihat dari sisi Selatan Kebun Raya, terutama dibawah pohon beringin yang paling rindang bersebelahan dengan pagar Istana. Kalau anda pernah berjalan mengelilingi putaran pagar kebun raya, anda akan berjalan diatas jejak langkah saya yang sudah mengililinya entah berapa kali. Sisi Selatan adalah favorit saya karena Gunung Salak dapat terlihat dengan jelas, dikombinasikan dengan halaman utara Istana Bogor yang dihiasi kijang-kijang istana jika menghadap ke arah gunung itu, simply spectacular...

Jalan Kenari melingkar disisi Selatan Kebun Raya, jalan itu adalah jalan favorit Sir Stamford Raffles dalam menghabiskan waktu senggangnya, jejak langkahnya disitu juga diikuti oleh jejak langkah saya yang menjadikan jalan itu tempat untuk menyendiri, dipojok jalan Kenari disebuah bangku kecil yang usang.

Kembali ke Washington setelah dua tahun saya tinggalkan, mengingatkan saya pada jalan itu. Jalur dari Abraham Lincoln Memorial sampai ke the Smithsonian Airspace Museum memiliki nuansa yang hampir sama dengan Jalan Kenari, paling tidak apa yang saya rasakan memiliki kemiripan, dingin dan tak tersentuh.

Hidup memiliki nuansa yang aneh dan kesendirian membangunkan alam bawah sadar kita akan apa yang sebenarnya kita rasakan saat itu. Saya kini merasakannya, berjalan underneath the beautiful crescent...it is indeed beautiful yet unreachable...

To be continued

Read more...

Monday, March 23, 2009

Summer Hill III -End

Seingat saya, pada saat itu adalah musim dingin di tahun terakhir kami bersama di Fort Street. Winter Camp adalah saat dimana kami satu angkatan mempererat jalinan persahabatan satu sama lain dengan acara jalan-jalan dari daerah kami yang dingin ke tempat yang jauh lebih dingin, mungkin maksudnya agar kami lebih dempet-dempetan supaya lebih “hangat”. Namun bagi saya Winter Camp adalah ladang penyiksaan jasmani yang tak terkira. Menaiki dataran tinggi disaat temperatur udara bisa mencapai satu sampai lima derajat di pagi hari. Sungguh menyiksa bagi orang tropis seperti saya.

Nigel Boney sangat berseberangan dengan saya dalam hal ini. Dia suka cuaca dingin. “I love winter to death” katanya. Saya sih tahu kenapa dia begitu mencintai winter. Dia mencintai musim ini tidak lain karena dia bisa bergaya dengan koleksi jaket NBA nya. Nigel seorang pebasket mungil alias pendek, tapi lihai memainkan bola, sayangnya dia terlalu pendek jadi tidak pernah masuk tim sekolahan. Setiap winter, Nigel berganti jaket setiap harinya, dipadu dengan topi khas NBA juga. Atribut NBA seperti jaket dan topi diperbolehkan oleh sekolah asal tetap menggunakan seragam kemeja putih dan celana panjang abu-abu dipadu dengan dasi warna marun, dan sweater yangjuga berwarna marun, warna kebangsaan Fort Street.

Seingat saya, kami berangkat dengan kereta dari stasiun Petersham menuju Central. Lalu berganti kereta yang menuju kearah Barat. Saya sudah lupa tempat tujuan kami, namun kalau tidak salah, tempat itu lumayan jauh dan ditempuh dengan 2 jam perjalanan dari Sydney. Winter tahun itu memang sengaja dibuat “semeriah” mungkin, karena merupakan tahun terakhir kami di sekolah itu. 5-6 bulan kedepan, kami akan meninggalkan Fort Street untuk selama-lamanya.

Lokasi camping kami adalah daerah pegunungan, dan layaknya pegunungan di benua itu, kita tidak bisa menemui beragam pohon, pohonnya ya yang itu itu saja, dan ada beberapa jenis lain yang kurang dominan. Gum tree, adalah nama pohon itu, daunnya biasa jadi makanan koala yang tidak bosan-bosannya mengunyah daun pohon itu. Kami menyebut Nigel juga dengan sebutan koala, karena ia begitu lambaaat terutama dalam hal berjalan.

Nigel pulalah yang hampir membuat kita semua mati pada acara camp itu. Semua diakibatkan cara lari dia yang lambat. Sehebat-hebatnya dia memainkan bola basket, kenyataannya dia tidak pernah masuk timnas sekolahan, bahkan sekelas cadangan. Bukan saja karena ia pendek untuk ukuran pebasket, tapi karena ia sangat lambat.

Ide menyelinap dari camp tentunya berasal dari Eric Paul, siapa lagi? Walaupun sebenernya kita tidak diizinkan berkeliaran karena hari sudah hampir senja. Tapi kami nekat, walaupun tidak mengenal kondisi lapangan dengan baik tapi darah muda kami haus akan petualangan, mengeksplorasi wilayah itu, dan tentunya untuk merokok sepuasnya tanpa ketahuan guru dan teman-teman yang lain.

Beberapa bukit kami lalui sambil bercanda dan tertawa, sekali-sekali kami berhenti menunggu Nigel. Sung Ahn yang paling perhatian pada anak boncel itu, pada dasarnya Sung perhatian pada kami semua dan kadang berlebih, ya dia memang pada dasarnya anak yang paling perhatian diantara kita semua. Tidak berapa lama kami menemukan trek atau rel kereta api yang menuju sebuah terowongan kereta sekitar 100 meter dari pandangan kami setelah menuruni sebuah bukit. Eric Paul berjalan paling depan dan kami mengikutinya menuju terowongan itu. Di bibir terowongan itu kami semua berhenti dan memandang jauh keujung terowongan itu. Ada sinar terang diujungnya, berarti masih terlihat ujung dari terowongan itu.

“Kalian berani masuk terowongan ini sampai keluar diujungnya?” Tanya Erik. Kami saling bertatap-tatapan sambil berpikir. Berpikir karena takut terowongan itu lebih panjang dari yang kita kira, takut akan kemungkinan ada kereta yang melintas aat kita menelusurinya. Bukan apa-apa, trek nya cuma satu! Tidak mungkin kita menghindar ke rel yang kosong jika ada kereta lewat.

“Ah, kalian penakut!” seru Erik. “Di tempat terasing seperti ini yang sampai-sampai tidak ada kanggurunya, berapa kali seminggu sih kereta lewat sini? Paling sekali! Lagipula ini trek kereta barang, treknya Cuma satu! Ayolah…” bujuk Erik.

Entah bagaimana, tahu-tahu kami sudah berada di terowongan kereta itu. Bulatan putih yang kami anggap ujung terowongan itu ternyata masih jauh.

“Teman-teman, aku punya perasaan gak enak, terowongan itu ternyata jauh sekali yah, dan sangat gelap disini” Leo Poljack bergumam. Leo adalah yang terbesar diantara kami tapi yang paling penakut.

“Ah, sudahlah, kita nikmati petualangan ini ok!” Erik mencoba menenangkan kita semua. Saya saat itu cuma ingin buru-buru sampai diujung terowongan gelap ini, bukan apa-apa, takut ada kereta!

Tiba-tiba Nigel berteriak, “Guys!..oh my God” teriak Nigel…”kayaknya aku mendengar suara kereta…! Kami berkonsentrasi, dan Nigel ternyata benar, samar-samar kami mendengar suara klakson kereta yang khas terdengar dan sudah pasti sebentar lagi akan memasuki terowongan ini. “Toooooaaaaaaaat…!!!” bunyi yang nyaring itu semakin mendekati terowongan. Saat itu juga kami tidak berpikir apa-apa tetapi Cuma berteriak “LARI!!!”

Kami mungkin saat itu sudah melewati setengah jalan terowongan itu, karena saya ingat kami sudah berjalan cukup lama. Kami berlati sekuat tenaga, saya menoleh ke belakang dan kereta itu sudah masuk kedalam terowongan!

Eric Paul adalah seorang sprinter dia berlari paling depan karena dialah yang tercepat menyusul kami dibelakangnya dan Nigel Boney berlari dengan susah payah, dia berada paling belakang. “Come oooon guys…run for your life!!” kami semua lari secepat mungkin dan semakin mendekati ujung terowongan itu, tapi Nigel begitu lambat, Eric sempat memperlambat larinya dan berusaha memegang tangan Nigel dan menariknya..”run dam it run!” kereta semakin mendekat, hanya beberapa detik kemudian kami berhasil keluar dari terowongan dan berloncatan ke sisi kanan yang ternyata tanah yang landai, kami menghantam semak belukar dan terguling-guling kebawah. Kami semua selamat. Tidak lebih dari 5 detik kemudian kereta barang itu melintas!

Pengalaman itu sungguh menakutkan. Bahkan sekarang menjadi sebuah kenangan yang takkan pernah kami lupakkan sepanjang hidup kami. Seiring perjalanan waktu ketika kami sama-sama bertemu walau tidak pernak lengkap kami semua hadir, peristiwa itu hampir selalu menjadi “highlight” dari pembicaraan kami.

Eric adalah satu-satunya yang menetap di Sydney. Dia sekarang menjadi supervisor di salah satu perusahaan printing terbesar di Sydney saat ini dan telah menikahi gadis Filipina yang cantik. Nigel Boney bertugas di Sri Lanka, dia tidak pernah bercerita apa yang dia lakukan disana, canda kami adalah mungkin dia ikut berjuang dengan Macan Tamil hehe…Kuveshen Pather tinggal di Singapura dan menikahi gadis lokal, dia kini menjadi seorang akuntan, sebuah bidang yang memang pernah ia cita-citakan. Leo Poljack bertugas di Manila, Filipina, tidak lama lagi ia akan kembali ke Sydney, berkumpul dengan keluarganya. Sung Ahn menjadi seorang ahli IT di perusahaan Korea. Dia menikahi juga gadis Korea dan kadang menetap di Sydney.

Fort Street tetap menjadi sekolah selektif terbaik sampai saat ini. Terakhir kali saya mengunjungi kota Sydney, tidak banyak yang berubah dari sekolahan itu ketika saya melintasi Parramatta Road dan memandangi bagian depan dari sekolahan itu. Tidak jauh pula kearah barat, Summer Hill tetap berdiri dengan anggun, meninggalkan jejak masa lalu saya yang masih tersimpan disana…

END

Read more...

Sunday, February 15, 2009

Summer Hill II

“Don’t go to where the path my lead, but go to where there is no path, then lead a trail…”

Daun-daun berjatuhan di musim gugur diterpa angin dingin dari selatan yang menghembuskan kekuatannya, membangunkan mahluk hidup untuk bersiap menghadapi musim dingin. Langit lebih sering kelabu, diselimuti awan yang tebal dan hujanpun turun lebih sering dibanding musim-musim lainnya.

Taman di Summer Hill jarang saya kunjungi di musim ini. Angin yang berhembus kencang membuat kita menggigil dan membuat bibir menjadi kering dan retak. Rumput yang hijaupun ditutupi oleh daun-daun eucalyptus yang kering dan kecoklatan, sungguh suasana yang menjemukkan. Dari jendela kamar saya, terlihat pohon-pohon seolah digunduli dan menyisakkan ranting-ranting yang membeku seolah meratapi nasibnya, ditinggal oleh daun-daun yang selama ini menyelimutinya.

Waktu mundur satu jam di musim gugur menjelang musim dingin sesuai pengumuman pemerintah, dan dimulailah hari-hari yang pendek, jam tujuh pagi bagaikan subuh dan jam empat sore matahari sudah hampir tak menampakkan dirinya lagi. Berangkat ke sekolah adalah perjuangan yang berat di musim ini. Menulusuri Sloane St, Summer Hill menurun sampai ke Jalan besar dan menunggu bis di Parramatta Road di tengah cuaca yang tidak menyenangkan.

Hanya sahabat-sahabat saya lah yang membuat berangkat ke sekolah menjadi agak ringan. Mereka biasanya sudah menunggu di sisi timur Fort Street, di anak tangga yang menuju ke lapangan basket. Disitulah tempat kami berkumpul dan bercengkrama sejak pertama kali persahabatan itu kami bangun dari awal-awal masa sekolah.

Eric Paul, Nigel Boney, Sung Ahn, Leo Poljack, dan Kuveshen Pather adalah sekumpulan sahabat yang selalu menghiasi hari-hari saya kala itu. Ada pula satu orang sahabat kental lagi di sekolah itu, Algius Lencus seorang jenius asal Romania yang agak pendiam, sayang dia tidak pernah bisa bergaul dengan kelompok sahabat-sahabat saya yang lain walaupun ia sering saya ajak bergabung. Si jenius yang aneh, kata teman-teman saat itu.

Dengan mereka pula saya belajar merokok, kebiasaaan buruk yang sungguh sukar saya hilangkan. Kenakalan kami sebatas merokok saja, tidak ada satupun diantara kami yang suka membuat onar, bahkan tidak ada satupun diantara kami yang mencoba-coba menggoda teman perempuan Fort Street, walaupun keinginan itu selalu ada dan kerap menjadi perbincangan di sesi makan siang.

“Coba kalau berani, kamu ajak Ilona Zebrowski makan malam” kata Eric kepada saya. Ilona adalah gadis tercantik disekolahan, seorang gadis Polandia bermata biru dan berambut pirang, dan ya, bisa ditebak, ia adalah primadona Fort Street saat itu. Pernyataan Eric selalu mengundang tawa, ia seperti seorang natural leader di kelompok kami, apapun yang ia katakan hampir selalu mengundang perhatian dan tampaknya ia juga tahu kalau saya suka gemetaran bila berada disamping perempuan cantik seperti Ilona.

Eric dan teman-teman yang lain tidak tahu, kalau disuatu siang dikelas, Ilona pernah menghampiri saya dan duduk disebelah bangku saya. Sungguh itu adalah momen yang langka, padahal saya lumayan mengenal Ilona karena beberapa kali berada satu kelompok dengan gadis itu dalam tugas sekolahan. Memang, sekenal-kenalnya saya pada dirinya, tidak pernah sekalipun kami membicarakan masalah pribadi kecuali yang bersifat basa-basi dan yang berhubungan dengan tugas sekolahan.

Adalah dihari itu, tiba-tiba dia menyapa sambil sedikit memiringkan wajahnya yang ditopang oleh tangannya. Terlihat jelas matanya yang biru dan agak sayu…

“eh, maaf yah, tapi kamu tahu gak, kamu tuh orang Asia yang paling cute yang pernah saya lihat”

Jika anda punya pengalaan tersetrum listrik di rumah, maka hal itulah yang saya rasakan saat itu, badan tiba-tiba menjadi kaku dan udara dingin berubah menjadi panas. Saya cuma bilang kepadanya bahwa dia sedang “day dreaming”, tapi Ilona melemparkan senyumnya yang bisa membunuh kaum adam manapun di muka bumi dan mengatakan bahwa sudah lama ia ingin mengatakannya, dan dia juga bilang kalau ucapan itu tak bermaksud apa-apa selain karena ia adalah orang yang tidak dapat menyembunyikan apa yang ada dalam benaknya.

“That’s fine” timbal saya sambil memasang muka kalem. Padahal itulah salah satu momen terpenting dalam hidup saya. Seumur-umur tidak pernah ada satu perempuanpun yang mengatakan hal seperti itu, terlebih dari seorang Ilona Zebrowski. Tapi saya tidak pernah menceritakan hal ini pada Eric Paul, apalagi pada Kuveshen Pather yang terkenal kocak dan rajin mencela itu. Sudah pasti, tidak akan ada yang mempercayainya.

Satu orang yang mungkin percaya adalah Sung Ahn, si Korea relijius itu. Diantara kami, dia adalah orang yang hampir tidak pernah mencela, kata-katanya tersusun rapi bak sebuah pidato kenegaraan yang sudah disusun oleh protokoler gedung putih. Jika ada satu hal yang selalu saya ingat tentang Sung, adalah dia kerap mengajak saya untuk mengikuti jejaknya menjadi seorang Katolik.

Tentu saja dia selalu mengajak berdialog seputar masalah agama dan ke-Islaman saya. Tapi saya sangat mencintai Sung sebagai seorang sahabat, sehingga saya selalu meladeni obrolan seputar agama ini dengan tenang dan menjauhi perdebatan. Tidak pernah sekalipun ia menghina atau memojokkan agama saya. Saking menghormati Sung sebagai sahabat, saya pernah juga mendaftarkan diri untuk bergabung dengan kegiatan ekstra kurikuler agama yaitu kelas “siraman rohani” Katolik hanya karena Sung membujuk saya berkali-kali. Sungguh saya mengikuti kelas itu hanya karena saya tidak sampai hati pada Sung yang tak kenal lelah ingin “mengkonversi” saya menjadi penganut agamanya. Sampai sekolah berakhir saya selalu mengingatkan dia untuk tetap menjadi seorang Katolik yang baik.

“So is there a change of heart?” katanya diakhir masa sekolah

Saya hanya terseyum sambil menyalaminya, “Everthing stays the same, just like our friendship that I’m sure will last till the end”. Sung terlihat tegar walaupun terasa ada sedikit kekecewan di wajahnya. “Kamu orang terbaik diantara yang lain, karena itu saya merasa ada sesuatu yang harus melengkapinya, I’m sorry” katanya…

Persahabatan kami berlangsung sampai saat ini walaupun mereka hanya sering saya jumpai di Facebook, dan pernah pula saya sempat menjumpai Eric di Sydney. Saya hanya bisa menjumpai dia, karena yang lain sudah bertugas dimanca negara. Pada pertemuan itulah kami mengingat satu momen yang membuat kami menjadi lebih erat, sebuah momen yang takkan terlupakan sepanjang hidup kami, karena hampir saja kami berenam menjadi hanya tinggal nama alias mati bersama-sama. Kejadian itu terjadi pada saat kami berenam terlibat dalam acara camping sekolahan di pegunungan di selatan Sydney, sebuah kejadian fatal yang diakibatkan oleh ketololan kami sendiri…

(To be continued…)

Read more...

Friday, February 6, 2009

Summer Hill


“If only we could fall, like the cherry blossoms in the spring,
so pure…so radiant…”


Summer Hill adalah sebuah Suburb kecil di bilangan Western Sydney. Sebuah Suburb yang sunyi dipagari oleh pepohonan yang rindang. Summer Hill terbagi menjadi dua wilayah, terpisah oleh trek kereta api dan sebuah stasiun. Kawasan yang satu adalah kawasan komersil yang terdiri dari supermarket, toko-toko, gereja, dan sekolahan, sedang yang diseberangnya adalah kawasan pemukiman dimana saya tinggal. Wilayah pemukimannya tidak terlalu luas, sangat dimaklumi dengan jumlah penduduk Australia yang sangat kecil dibanding dengan jumlah penduduk kota-kota di Indonesia, sebuah Suburb biasanya tidak dihuni oleh terlalu banyak penduduk, sehingga selalu ada ruang yang luas yang biasanya dipakai pemerintah lokal untuk dijadikan taman atau fasilitas umum lainnya. Dan memang ada sebuah taman yang luas jika kita menyebrangi stasiun kereta melalui sebuah under pass tidak jauh dari tempat saya tinggal dulu, sebuah flat kecil berkamar dua di Sloane St.

Pada usia saya saat itu, saya cenderung penyendiri dan menghabiskan banyak waktu di taman itu, entah mermain-main dengan bola tenis atau hanya duduk-duduk saja di bangku taman memikirkan sesuatu. Kata teman-teman, saya terlalu banyak menghabiskan waktu merenung, memikirkan hal yang sepele dan menganggapnya seperti masalah yang patut dibahas di Parlemen.

Yang pasti, taman itu banyak menyimpan kenangan, dan ada cita-cita untuk kembali kesana hanya untuk duduk di bangku taman itu dan menonton anak-anak kecil bermain atau orang-orang yang berlalu lalang seperti yang sering saya lakukan belasan tahun yang lalu setiap sore. Menyaksikan apa yang terjadi, lalu berpikir tentang banyak hal. Sungguh sesuatu yang sederhana, tetapi menakjubkan.

“Kalian adalah orang-orang Fort Street, kalian terlalu banyak berpikir, bersenang-senanglah sekali-sekali!” itu adalah pernyataan standar orang-orang Sydney kepada kami dulu.

Fort Street adalah sekolah selektif tertua di Australia, dan wadah bagi top 10 persen di New South Wales yang diuji lagi, lalu diambil sepersekiannya. 100% dari angkatan kami dulu lulus Ujian Negara dan berkiprah di Universitas-Universitas terbaik di negeri itu. Mantan Perdana Menteri Australia John Howard adalah salah satu icon alumni sekolah itu disampiang ratusan lagi yang menjadi tokoh-tokoh publik terutama politisi dengan tradisi ideologi Liberal.

Saya ingat meneteskan air mata saya ketika menerima surat dari New South Wales Education Board yang menyatakan saya diterima disalah satu universitas di Sydney…menangis karena ayah mengatakan bahwa dirinya tidak akan sanggup membiayai saya kuliah karena ia sudah di tanah air.

“Ayah gak sanggup….pulanglah, sekolahlah disini, di negaramu sendiri…”

Kata-kata yang meruntuhkan tembok yang telah saya bangun selama bertahun-tahun di Fort Street, bergelut dengan ilmu.dengan susah payah. Ilmu yang saya bawa pulang dari sekolahan yang selalu saya bawa ke taman itu untuk direnungi, dipikirkan. Harus saya bawa karena saya yakin saya bukan orang yang pintar, dan dapat menerima sebuah penjelasan dengan sekali tepuk. Kata teman-teman, saya lumayan telmi alias telat mikir.

Kata ibu saya dulu diantara saudara-saudara saya di keluarga besar, saya yang paling lambat belajar berjalan dan yang paling lambat belajar bicara. Tapi sekalinya bisa, saya tidak hanya berjalan, tetapi langsung berlari sampai akhirnya terjatuh…

(To be continued…)

Read more...

Monday, January 26, 2009

The American From Denpasar (Part II)

Adam adalah sarjana Antraopologi dan mendapat tugas penelitian di Denpasar pada saat ia masih menjadi mahasiswa di sebuah perguruan tinggi di Amerika Serikat. Ia langsung jatuh cinta pada Bali dan Indonesia tentunya. Lucunya, pada saat ia diharuskan memilih negara tujuan penelitian, dia memilih Swiss karena ia tahu betul keindahan negri Eropa itu. Tapi sayang, sudah ada mahasiswa lain yang memilih Swiss sebagai tujuan belajar. Pada saat itulah dosennya menganjurkan ia untuk memilih Indonesia.

“Indonesia?” katanya heran. Adam hampir tidak pernah mendengar apapun tentang negara itu. Sewaktu di Bangkok dia bercerita, bahwa ketika dia pulang ke rumah hari itu, hal yang pertama ia lakukan adalah membuka peta dan mencari lokasi Indonesia. Negara itu bagaikan sebuah negri antah berantah baginya. Awalnya ia kehilangan semangat, tetapi pada akhirnya mau tidak mau dia terbang juga dan memulai tugasnya di Bali. Pada kesempatan itu pulalah Adam sempat mengunjungi daerah lain selain Bali, dan tidak butuh waktu yang lama baginya untuk jatuh cinta pada Indonesia, terutama gaya pergaulan anak-anak mudanya yang katanya “asik-asik aja” alias “easy come easy go”.

Kedutaan Amerika Serikat di Merdeka Selatan adalah tempat dimana kami dipertemukan. Entah dari berapa ratus orang peneliti yang dihubungi dan menciut menjadi 20 orang, kami para peneliti mendapat giliran wawancara setelah ujian demi ujian yang kami lalui. Dari 20 itu kemudian menciut menjadi lima dan kemudian menjadi tiga. Dari tiga itu akan diambil 2 orang yang akan diterima dan langsung diterbangkan ke Bangkok.

Pada saat itulah, setelah beberapa kali wawancara, saya sudah mulai yakin bahwa saya akan menjadi salah satu dari dua orang ilmuwan Ilmu Politik yang akan terpilih. Kenapa saya begitu yakin? Pada wawancara terakhir itu Adam mendadak “Indonesia”.

“Sudahlah, capek juga yah ngobrol dalam bahasa Inggris, kita pake bahasa Indonesia aja yah” katanya. Saya terbengong-bengong mendengarkan ucapannya yang Crystal Clear ke-Indonesiaannya.

“Ya kalau bapak mau” sambil mengenyeritkan dahi. Dia tersenyum, dan mengatakan bahwa dia masih seumuran dengan saya dan tidak usah memanggil dia dengan sebutan bapak. Lalu semuanya menjadi sangat ringan, kita ngobrol sambil tertawa. Tawa kami hampir dapat terdengar keluar ruangan karena setelah saya selesai salah satu asisten disana bertanya,

“hmm wawancaranya seperti teman lama yang sudah lama tidak berjumpa yah” kata asisten perempuan setengah baya itu. Saya hanya tersenyum.

Obrolan kita tidak jauh dari obrolan sehari-hari yang akan diingat sepanjang masa. Saya ingat ketika dia bertanya,

“eh kamu kan dari Bogor, pernah naek gunung Salak nggak”

“wah, bukan pernah lagi, seriiiing” saya jawab tanpa memberitahu dia bahwa saya bahkan sudah mendaki gunung itu waktu liburan kelas 6 SD sendirian.

“Ya udah, tar ajak saya yah, saya udah coba Gede, Pangrango, sama gunung-gunung lain di Jawa, anehnya Gunung Salak justru saya belum haha..”

Lalu obrolanpun mengalir, dan saat itulah saya berfirasat bahwa orang ini akan menjadi seorang sahabat dikemudian hari, dan memang demikianlah keadaannya selanjutnya.

Hanya berselang beberapa hari setelah proses seleksi yang memakan waktu berbulan-bulan itu usai, telepon saya berdering ditengah kesibukkan penelitian yang saya lakukan untuk Assessment Groups International.

“Halo Dud, passport-mu masih valid kan?” kata suara dari seberang sana

“ya..” saya jawab

“ok, come and see Miss Andretti at the Embassy first thing tomorrow, and see you in Bangkok!” katanya. Saya masih tertegun saat itu ketika Adam mengatakan..

“hey, are you excited?... jangan lupa Indomie sama rendang-nya yah…inget, dari restoran Sederhana…!”

~ end

Read more...

Monday, January 12, 2009

The American From Denpasar (Part I)

“Rest yourself satisfied by doing well and leave others do as they please”

Phytagoras

Watergate adalah sebuah hotel di Washington DC, hampir bersebrangan dengan Georgetown University, sekolah impian para sarjana ilmu politik termasuk saya sendiri. Sebelah barat hotel itu menghadap ke sungai Potomac yang membeku dikala musim dingin. Jika anda membuka kamar hotel itu dan kebetulan anda mendapat kamar yang menghadap ke barat, maka sungai Potomac akan terlihat sangat jelas membentang membelah Washington. Jika anda berjalan kurang lebih 7 kilometer ke arah timur dan menyusuri taman kota, anda akan sampai di Capitol Hill, salah satu simbol demokrasi negara adidaya itu.

Washington akan terlihat lebih indah pada musim gugur, ketika daun Mapple berubah menjadi merah menyala seperti api. Jika dilihat dari udara, kalau kita akan mendarat di Bandara Dulles International dan melongok keluar jendela, kumpulan pohon-pohon mapple yang merapat itu terlihat seperti lukisan seorang maestro, kombinasi merah menyala dan oranye dihamparan rumput nan hijau membentuk lukisan yang tak dapat dinilai harganya.

Sebuah ketukan di pintu kamar saya di Watergate membangunkan saya dari lamunan. Adam Canby, adalah seorang sahabat lama yang dulu bertugas di Kedutaan Besar Amerika Serikat di Bangkok. Masih seperti dulu, dengan kepalanya yang pelontos dan tinggi badannya yang tidak terlalu tinggi untuk ukuran orang Amerika, ia menyapa saya.

Tidak akan ada yang percaya bahwa dia orang Amerika kalau anda belum pernah bertemu dengan Adam lalu berbicara lewat telepon, dan mengobrol dalam bahasa Indonesia. Bahasa Indonesianya sudah seperti layaknya orang-orang Indonesia berbicara sehari-hari, tidak ada kekakuan pada lidahnya. Yang lebih mencengangkan lagi, dia doyan rendang dan teh botol, dan lebih parah lagi dia doyan indomie dan pernah meminta saya membawakan satu kardus penuh indomie dari Jakarta untuknya ke Bangkok.

Kita mengobrol di hotel sampai larut malam, membicarakan banyak hal tentang masa lalu sampai membahas kemungkinan kamar yang saya tempati adalah kamar yang sama dimana skandal Watergate yang menjatuhkan Presiden Richard Nixon dimulai.

“kamu bawa indomie gak…haha” katanya yakin

“hey, ini bukan Dong Muang Bangkok, jangankan indomie, kalau ada kecoa yang ikut koper saya aja gak bakalan lolos custom sini!”

Adam tertawa, kemudian menghisap rokok kretek pesanannya yang saya bawakan. Orang seperti dia inilah yang kadang membuat saya menyesali keputusan untuk meninggalkan pekerjaan di pemerintahan Amerika Serikat. Orang-orang Amerika yang unik, yang mungkin dilatih untuk menjiwai bangsa asing sampai ke bahasa tubuhnya. Demikian pula Adam, saking menjiwainya ia menjadi lebih Indonesia daripada orang Indonesia sendiri. Adam yang kini menjabat Deputy Bureau Chief di New Delhi India, dulu pernah saya ajak jalan-jalan di Bogor naek angkot dan makan hidangan Sunda di Jalan Padjadjaran dan melahap habis makanannya, dan lebih hebat lagi, dia tidak menggunakan sendok alias langsung dari tangan ke mulut layaknya kebanyakan dari kita orang Indonesia.

Ada satu pengalaman yang unik, ketika saya menginap di Apartemennya di Bangkok, kebetulan ada salah satu teman kita juga orang Australia, Joe namanya yang ikut menginap. Dia ini sejenis Adam yang ke-Indonesiannya kadang melebihi kita-kita. Dalam salah satu momen, kedua orang bule itu mengobrol di balkon rumah Adam dan terlibat obrolan yang seru dalam bahasa Indonesia. Saya yang sedang menikmati hidangan di meja makan sempat melongok keluar sambil mendengarkan pembicaraan kedua orang itu.

Keduanya menghisap rokok kretek, dan saya ingat salah satu pembicaraan mereka adalah seputar restoran mana yang paling enak di Jakarta.

“wah, bapak belum pernah ke daerah Sentiong, disitu ada sop kambing yang mantep” kata Adam

“eeh aku tau itu Dam…tapi lebih enak lagi yang di daerah Wahid Hasyim..wuiih…”

Saya Cuma terbengong-bengong mendengarkan obrolan mereka, lha saya aja gak tau tuh ada sop kambing yang enak di Sentiong…ada-ada saja melihat dua orang bule ngobrol dalam bahasa Indonesia sambil membicarakan restoran di Jakarta andalan masing-masing sambil menghisap roko Kretek, dan lebih mencengangkan lagi mereka memanggil satu sama lain dengan sebutan “pak” alias “bapak”.

Orang-orang seperti merekalah yang membuat saya jatuh cinta pada pekerjaan saya terlepas dari kontroversi yang menyelimutinya. Kami adalah sekumpulan orang-orang dengan cara pandang yang berbeda, dan perbedaan itu pulalah yang juga banyak menimbulkan masalah dan peristiwa-peristiwa yang mengharukan sekaligus menegangkan dalam perjalanan hidup kami…

(To be continued…)

Read more...