Thursday, March 26, 2009

Jalan Kenari (Part I)

“For those who can dream, nothing is faraway..."



Gunung Salak berdiri kokoh di selatan kota Bogor dengan tujuh undakkannya yang menjadi ciri khas gunung itu. Kalau dari bekas rumah saya di Pasirkuda, jika hari sangat cerah, tujuh gundukan yang terkenal itu terlihat jelas, ketujuhnya menurun dan memagari kawah bekas letusannya yang terakhir di tahun 1938 yang menghasilkan erupsi freatik yang terjadi di Kawah Cikuluwung Putri
Gunung itu masih aktif kini, dan jika meletus sekarang, Sukabumi-lah yang akan paling merasakan hantamannya karena posisinya yang lebih rendah, walaupun sudah dipastikan, Bogor tidak akan luput dari efek letusannya, karena tujuh gundukan gunung itu sesungguhnya memagari sisi Sukabumi dan menyisakan pagar yang jauh lebih “pendek” yang menghadap ke Bogor.

Gunung itu terlihat lebih indah jika dilihat dari sisi Selatan Kebun Raya, terutama dibawah pohon beringin yang paling rindang bersebelahan dengan pagar Istana. Kalau anda pernah berjalan mengelilingi putaran pagar kebun raya, anda akan berjalan diatas jejak langkah saya yang sudah mengililinya entah berapa kali. Sisi Selatan adalah favorit saya karena Gunung Salak dapat terlihat dengan jelas, dikombinasikan dengan halaman utara Istana Bogor yang dihiasi kijang-kijang istana jika menghadap ke arah gunung itu, simply spectacular...

Jalan Kenari melingkar disisi Selatan Kebun Raya, jalan itu adalah jalan favorit Sir Stamford Raffles dalam menghabiskan waktu senggangnya, jejak langkahnya disitu juga diikuti oleh jejak langkah saya yang menjadikan jalan itu tempat untuk menyendiri, dipojok jalan Kenari disebuah bangku kecil yang usang.

Kembali ke Washington setelah dua tahun saya tinggalkan, mengingatkan saya pada jalan itu. Jalur dari Abraham Lincoln Memorial sampai ke the Smithsonian Airspace Museum memiliki nuansa yang hampir sama dengan Jalan Kenari, paling tidak apa yang saya rasakan memiliki kemiripan, dingin dan tak tersentuh.

Hidup memiliki nuansa yang aneh dan kesendirian membangunkan alam bawah sadar kita akan apa yang sebenarnya kita rasakan saat itu. Saya kini merasakannya, berjalan underneath the beautiful crescent...it is indeed beautiful yet unreachable...

To be continued

Read more...

Monday, March 23, 2009

Summer Hill III -End

Seingat saya, pada saat itu adalah musim dingin di tahun terakhir kami bersama di Fort Street. Winter Camp adalah saat dimana kami satu angkatan mempererat jalinan persahabatan satu sama lain dengan acara jalan-jalan dari daerah kami yang dingin ke tempat yang jauh lebih dingin, mungkin maksudnya agar kami lebih dempet-dempetan supaya lebih “hangat”. Namun bagi saya Winter Camp adalah ladang penyiksaan jasmani yang tak terkira. Menaiki dataran tinggi disaat temperatur udara bisa mencapai satu sampai lima derajat di pagi hari. Sungguh menyiksa bagi orang tropis seperti saya.

Nigel Boney sangat berseberangan dengan saya dalam hal ini. Dia suka cuaca dingin. “I love winter to death” katanya. Saya sih tahu kenapa dia begitu mencintai winter. Dia mencintai musim ini tidak lain karena dia bisa bergaya dengan koleksi jaket NBA nya. Nigel seorang pebasket mungil alias pendek, tapi lihai memainkan bola, sayangnya dia terlalu pendek jadi tidak pernah masuk tim sekolahan. Setiap winter, Nigel berganti jaket setiap harinya, dipadu dengan topi khas NBA juga. Atribut NBA seperti jaket dan topi diperbolehkan oleh sekolah asal tetap menggunakan seragam kemeja putih dan celana panjang abu-abu dipadu dengan dasi warna marun, dan sweater yangjuga berwarna marun, warna kebangsaan Fort Street.

Seingat saya, kami berangkat dengan kereta dari stasiun Petersham menuju Central. Lalu berganti kereta yang menuju kearah Barat. Saya sudah lupa tempat tujuan kami, namun kalau tidak salah, tempat itu lumayan jauh dan ditempuh dengan 2 jam perjalanan dari Sydney. Winter tahun itu memang sengaja dibuat “semeriah” mungkin, karena merupakan tahun terakhir kami di sekolah itu. 5-6 bulan kedepan, kami akan meninggalkan Fort Street untuk selama-lamanya.

Lokasi camping kami adalah daerah pegunungan, dan layaknya pegunungan di benua itu, kita tidak bisa menemui beragam pohon, pohonnya ya yang itu itu saja, dan ada beberapa jenis lain yang kurang dominan. Gum tree, adalah nama pohon itu, daunnya biasa jadi makanan koala yang tidak bosan-bosannya mengunyah daun pohon itu. Kami menyebut Nigel juga dengan sebutan koala, karena ia begitu lambaaat terutama dalam hal berjalan.

Nigel pulalah yang hampir membuat kita semua mati pada acara camp itu. Semua diakibatkan cara lari dia yang lambat. Sehebat-hebatnya dia memainkan bola basket, kenyataannya dia tidak pernah masuk timnas sekolahan, bahkan sekelas cadangan. Bukan saja karena ia pendek untuk ukuran pebasket, tapi karena ia sangat lambat.

Ide menyelinap dari camp tentunya berasal dari Eric Paul, siapa lagi? Walaupun sebenernya kita tidak diizinkan berkeliaran karena hari sudah hampir senja. Tapi kami nekat, walaupun tidak mengenal kondisi lapangan dengan baik tapi darah muda kami haus akan petualangan, mengeksplorasi wilayah itu, dan tentunya untuk merokok sepuasnya tanpa ketahuan guru dan teman-teman yang lain.

Beberapa bukit kami lalui sambil bercanda dan tertawa, sekali-sekali kami berhenti menunggu Nigel. Sung Ahn yang paling perhatian pada anak boncel itu, pada dasarnya Sung perhatian pada kami semua dan kadang berlebih, ya dia memang pada dasarnya anak yang paling perhatian diantara kita semua. Tidak berapa lama kami menemukan trek atau rel kereta api yang menuju sebuah terowongan kereta sekitar 100 meter dari pandangan kami setelah menuruni sebuah bukit. Eric Paul berjalan paling depan dan kami mengikutinya menuju terowongan itu. Di bibir terowongan itu kami semua berhenti dan memandang jauh keujung terowongan itu. Ada sinar terang diujungnya, berarti masih terlihat ujung dari terowongan itu.

“Kalian berani masuk terowongan ini sampai keluar diujungnya?” Tanya Erik. Kami saling bertatap-tatapan sambil berpikir. Berpikir karena takut terowongan itu lebih panjang dari yang kita kira, takut akan kemungkinan ada kereta yang melintas aat kita menelusurinya. Bukan apa-apa, trek nya cuma satu! Tidak mungkin kita menghindar ke rel yang kosong jika ada kereta lewat.

“Ah, kalian penakut!” seru Erik. “Di tempat terasing seperti ini yang sampai-sampai tidak ada kanggurunya, berapa kali seminggu sih kereta lewat sini? Paling sekali! Lagipula ini trek kereta barang, treknya Cuma satu! Ayolah…” bujuk Erik.

Entah bagaimana, tahu-tahu kami sudah berada di terowongan kereta itu. Bulatan putih yang kami anggap ujung terowongan itu ternyata masih jauh.

“Teman-teman, aku punya perasaan gak enak, terowongan itu ternyata jauh sekali yah, dan sangat gelap disini” Leo Poljack bergumam. Leo adalah yang terbesar diantara kami tapi yang paling penakut.

“Ah, sudahlah, kita nikmati petualangan ini ok!” Erik mencoba menenangkan kita semua. Saya saat itu cuma ingin buru-buru sampai diujung terowongan gelap ini, bukan apa-apa, takut ada kereta!

Tiba-tiba Nigel berteriak, “Guys!..oh my God” teriak Nigel…”kayaknya aku mendengar suara kereta…! Kami berkonsentrasi, dan Nigel ternyata benar, samar-samar kami mendengar suara klakson kereta yang khas terdengar dan sudah pasti sebentar lagi akan memasuki terowongan ini. “Toooooaaaaaaaat…!!!” bunyi yang nyaring itu semakin mendekati terowongan. Saat itu juga kami tidak berpikir apa-apa tetapi Cuma berteriak “LARI!!!”

Kami mungkin saat itu sudah melewati setengah jalan terowongan itu, karena saya ingat kami sudah berjalan cukup lama. Kami berlati sekuat tenaga, saya menoleh ke belakang dan kereta itu sudah masuk kedalam terowongan!

Eric Paul adalah seorang sprinter dia berlari paling depan karena dialah yang tercepat menyusul kami dibelakangnya dan Nigel Boney berlari dengan susah payah, dia berada paling belakang. “Come oooon guys…run for your life!!” kami semua lari secepat mungkin dan semakin mendekati ujung terowongan itu, tapi Nigel begitu lambat, Eric sempat memperlambat larinya dan berusaha memegang tangan Nigel dan menariknya..”run dam it run!” kereta semakin mendekat, hanya beberapa detik kemudian kami berhasil keluar dari terowongan dan berloncatan ke sisi kanan yang ternyata tanah yang landai, kami menghantam semak belukar dan terguling-guling kebawah. Kami semua selamat. Tidak lebih dari 5 detik kemudian kereta barang itu melintas!

Pengalaman itu sungguh menakutkan. Bahkan sekarang menjadi sebuah kenangan yang takkan pernah kami lupakkan sepanjang hidup kami. Seiring perjalanan waktu ketika kami sama-sama bertemu walau tidak pernak lengkap kami semua hadir, peristiwa itu hampir selalu menjadi “highlight” dari pembicaraan kami.

Eric adalah satu-satunya yang menetap di Sydney. Dia sekarang menjadi supervisor di salah satu perusahaan printing terbesar di Sydney saat ini dan telah menikahi gadis Filipina yang cantik. Nigel Boney bertugas di Sri Lanka, dia tidak pernah bercerita apa yang dia lakukan disana, canda kami adalah mungkin dia ikut berjuang dengan Macan Tamil hehe…Kuveshen Pather tinggal di Singapura dan menikahi gadis lokal, dia kini menjadi seorang akuntan, sebuah bidang yang memang pernah ia cita-citakan. Leo Poljack bertugas di Manila, Filipina, tidak lama lagi ia akan kembali ke Sydney, berkumpul dengan keluarganya. Sung Ahn menjadi seorang ahli IT di perusahaan Korea. Dia menikahi juga gadis Korea dan kadang menetap di Sydney.

Fort Street tetap menjadi sekolah selektif terbaik sampai saat ini. Terakhir kali saya mengunjungi kota Sydney, tidak banyak yang berubah dari sekolahan itu ketika saya melintasi Parramatta Road dan memandangi bagian depan dari sekolahan itu. Tidak jauh pula kearah barat, Summer Hill tetap berdiri dengan anggun, meninggalkan jejak masa lalu saya yang masih tersimpan disana…

END

Read more...