Monday, May 24, 2010

Setetes Air di Hamparan Pasir

Sebuah taman bermain dipinggiran Suburb Summer Hill adalah tempat saya bermain dulu sepulang sekolah. Modal saya Cuma bola tenis kecil yang saya lempar dan tendang kesana kemari. Di waktu musim panas, saya bermain agak lebih lama karena matahari tenggelam jam 7-8 malam. Saya biasa menghabiskan sisa waktu bermain itu untuk duduk di sebuah bangku taman. Saya tidak pernah membawa makanan atau minuman, saat itu jajan saya Cuma 2 dollar sehari yang biasanya sudah saya habiskan disekolah untuk makan siang dan jajan permen. Hanya beberapa tahun sebelumnya pada jam-jam yang sama, saya biasanya sedang duduk di sebuah mushalla atau surau di sudut kota Bogor. Aki atau kakek adalah orang yang menggiring saya kesana setiap sore menjelang Maghrib sampai Isya.

Saya terbiasa dididik oleh kakek dari segi agama. Surau adalah tempat saya menghabiskan waktu dimasa kecil. Ustad Idik adalah guru ngaji yang ditugaskan oleh almarhum kakek untuk menggembleng saya dalam memahami ilmu agama dan tulisan-tulisan Arab dalam Al-Quran. Dalam mengajar Ustad Idik selalu ditemanin sahabatnya yang paling setia, sebuah potongan kayu tipis yang panjangnya hampir satu meter yang ia letakkan disampingnya. Tidak ada fungsi lain dari kayu itu selain untuk diayunkan pada lengan atau pundak saya jika tulisan Arab itu berulang-ulang dibaca dengan salah. Adanya potongan kayu itu adalah atas restu dan inisiatif kakek, bahkan kayu itu sudah kakek siapkan saat ia menyerahkan saya ke Ustad Idik. Saat ia mengantarkan saya, kakek mengatakan kepada pak ustad untuk menggunakan kayu itu sesuka hati karena diujung kayu itu terdapat pagar yang dapat menjaga saya agar tak terjatuh saat menyebrangi titian ‘jalan yg lurus’ diakhirat nanti.

Fort Street adalah sekolah konservatif dibilangan barat kota Sydney. Konservatif dan memiliki tradisi yang kuat. Sekolah itu meluluskan putra-putri terbaik negeri itu, mencetak beberapa Perdana Menteri, Gubernur Jenderal, dan politikus-politikus liberal yang kini banyak diantaranya yang menghiasi kursi Parlemen di Canberra. Dibalik ke-konservatifannya, adalah tradisi Kristen yang mendarah daging. Cara pandang liberal dan Kristen itu menyatu, menciptakan ‘fanatisme’ tersembunyi dibalik almamaternya. Agar dapat mengikuti entry test ke sekolah itu haruslah menjadi top 10 persen di Negara bagian New South Wales. Waktu saya dinyatakan diterima, orang tua saya meminta temannya untuk menerjemahkan surat dari sekolahan untuk memastikan bahwa saya benar-benar diterima, kenapa? Karena mereka tidak yakin akan itu.

Pada saat sekolah disana, saya mengikuti juga kegiatan ekstrakurikuler yang tidak lazim dilakukan orang Islam, terlebih dengan didikan Islam yang keras dari kakek saya. Kegiatan ekstra kurikuler itu adalah siraman rohani agama Kristen. Saya mengikutinya karena didasari oleh dua hal. Satu adalah karena merasa tidak enak pada sahabat saya seorang Korea bernama Sung Ahn yang menginginkan saya mengikuti agamanya, yang kedua adalah rasa keingintahuan saya yang besar. Saya tidak akan menceritakan apa yang terjadi disana, namun sekolah itu juga membentuk cara pandang saya terhadap banyak hal, terutama kehidupan. Sung pernah mengatakan,

“kamu adalah orang terbaik yang saya kenal, dan alangkah indahnya jika kamu juga menjadi bagian dari apa yang kami anut”

Saya hanya tersenyum dan bayangan sepenggal kayu milik ustad Idik pemberian kakek seketika hadir didepan wajah saya.

Tidak akan ada banyak orang yang akan memahami cara saya berfikir, terutama jika orang itu memiliki ‘fanatisme’ tersendiri terhadap nilai yang ia anut. Namun bertemunya dua nilai itu sempat menggoncangkan hidup saya dan merupakan pukulan yang hebat ketika dihadapkan pada realita yang ada. Menjadikannya sebuah beban yang maha berat yang masih terbawa hingga kini…

(To be continued)

Read more...

Friday, July 31, 2009

Jalan Kenari II (End)

Jika sungai Potomac mengalir dan berakhir di tempat saya dibesarkan, niscaya akan saya telusurinya. Semakin jauh jaraknya semakin lama saya bisa melupakan hiruk pikuk kehidupan, dan kala pada akhirnya berakhir, semua orang sudah tua atau sudah mati, sudah lupa, dan sudah mengindahkan apa yang dibicarakannya kini.

Tapi kenyataannya tidak demikian, saya telah kembali ke Jakarta dan menghabiskan sebagian waktu di Bangkok. Entah kenapa Ibukota Thailand itu tidak terlalu mengesankan seperti dulu. Saya pikir suasana hati sangat besar berperan mewarnainya menjadi abu-abu yang kelam, terpinggirkan, dan tak terhiraukan.

Cinta saya kepada perempuan itu tidak sepanjang jalur sungai Potomac yang membelah kota Washington, atau sedalam Chao Phraya yang menghujam kota Bangkok, cinta itu melebihinya. She's all I have. Tapi hidup memiliki alur cerita yang tak terduga, begitu misterius dan kadang menusuk ke lubuk hati yang terdalam. Kini saat saya menjalankan apa yang selama ini ia inginkan, dia sudah berlalu dan membisu.
Mentertawakan saya di social networking site kesayangannya, hilarious though…I actually smile whenever I look at her comment, saya mengagumi cara ia menuliskannya, she’s witty, the way she puts me down in front of my friends and the public is like a cold blooded assassin and I enjoyed it, that applies to those pair of eyes that kills me every time she puts her head down, blushing…killing my conscience, loosing direction, and unaware of where I was. I can still feel her lips on mine, so gentle so sweet, nothing can beat that in my life time.

I’m all alone now, as predicted, menelusuri alur kehidupan dibelantara mimpi dan kenyataan sendirian. I couldn’t have made a quick decision at the time to be with her when I had the chance, I had debts to pay, but she didn’t understand my message. I have committed myself to my promise for her, but it seems the ship has drifted away into the middle of the raging sea of anger.

#

Jika sungai Potomac mengalir sampai tempat saya dibesarkan, di Jalan Kenarilah ia akan berakhir. Tak akan ada titian yang dapat menyebranginya, ia adalah ikatan hati ke hati yang takkan runtuh dimakan zaman. Crescent, will leave peacefully and seek a beautiful life, and Canary Road will witness a journey of two hearts and shed of tears of two lovers who shall not end, though not together…

This will probably be the last of my life story...I seek no interest in continuing to write for she was the reason I write in the first place...now I have no reason to do so. It's been an exciting journey but I will have to say goodbye.

"Once you asked me to choose; my life or your life? I choose mine for now and will seek you when I’m done, but then you left not knowing you are my life"

End~

Read more...

Monday, June 22, 2009

crescent

crescent
light bestowed upon your side
for I am the other half,
dark and unseen..




Bangkok sometime in May

Read more...

Thursday, March 26, 2009

Jalan Kenari (Part I)

“For those who can dream, nothing is faraway..."



Gunung Salak berdiri kokoh di selatan kota Bogor dengan tujuh undakkannya yang menjadi ciri khas gunung itu. Kalau dari bekas rumah saya di Pasirkuda, jika hari sangat cerah, tujuh gundukan yang terkenal itu terlihat jelas, ketujuhnya menurun dan memagari kawah bekas letusannya yang terakhir di tahun 1938 yang menghasilkan erupsi freatik yang terjadi di Kawah Cikuluwung Putri
Gunung itu masih aktif kini, dan jika meletus sekarang, Sukabumi-lah yang akan paling merasakan hantamannya karena posisinya yang lebih rendah, walaupun sudah dipastikan, Bogor tidak akan luput dari efek letusannya, karena tujuh gundukan gunung itu sesungguhnya memagari sisi Sukabumi dan menyisakan pagar yang jauh lebih “pendek” yang menghadap ke Bogor.

Gunung itu terlihat lebih indah jika dilihat dari sisi Selatan Kebun Raya, terutama dibawah pohon beringin yang paling rindang bersebelahan dengan pagar Istana. Kalau anda pernah berjalan mengelilingi putaran pagar kebun raya, anda akan berjalan diatas jejak langkah saya yang sudah mengililinya entah berapa kali. Sisi Selatan adalah favorit saya karena Gunung Salak dapat terlihat dengan jelas, dikombinasikan dengan halaman utara Istana Bogor yang dihiasi kijang-kijang istana jika menghadap ke arah gunung itu, simply spectacular...

Jalan Kenari melingkar disisi Selatan Kebun Raya, jalan itu adalah jalan favorit Sir Stamford Raffles dalam menghabiskan waktu senggangnya, jejak langkahnya disitu juga diikuti oleh jejak langkah saya yang menjadikan jalan itu tempat untuk menyendiri, dipojok jalan Kenari disebuah bangku kecil yang usang.

Kembali ke Washington setelah dua tahun saya tinggalkan, mengingatkan saya pada jalan itu. Jalur dari Abraham Lincoln Memorial sampai ke the Smithsonian Airspace Museum memiliki nuansa yang hampir sama dengan Jalan Kenari, paling tidak apa yang saya rasakan memiliki kemiripan, dingin dan tak tersentuh.

Hidup memiliki nuansa yang aneh dan kesendirian membangunkan alam bawah sadar kita akan apa yang sebenarnya kita rasakan saat itu. Saya kini merasakannya, berjalan underneath the beautiful crescent...it is indeed beautiful yet unreachable...

To be continued

Read more...