Sunday, November 30, 2008

Cabe Bandung Vs Cabe Texas

Bagaimanakah mengukur rasa pedas menurut lidah orang-orang dari mancanegara. Apakah rasa pedas di lidah orang Indonesia tidak ada artinya dibanding rasa pedas orang Mexico? atau sebaliknya? cerita yang akan saya tulis ini sedikit mengena pada rasa pedas itu sekaligus menyerempet kebanggaan seseorang terhadap kedigdayaan bangsanya bukan saja dari segi ekonomi dan militer, akan tetapi juga akan rasa pedas yang menurutnya tak tertandingi di seantero dunia.

Di pertengahan 2007, seorang petinggi dari Houston Martin Thaler, yang juga merupakan teman dekat saya ketika di Houston dulu melakukan 'Tour of Duty' ke Indonesia. Karena memang dasarnya seorang petinggi, maka dia punya hak yang tak terbantahkan mengenai siapa yang harus mendampinginya selama di tanah air. Tidak jauh dari dugaan saya memang, ketika disuatu pagi salah satu Vice Presiden perusahaan memanggil saya dan mengatakan bahwa Martin cuma ingin ditemani oleh saya selama di Indonesia untuk mengontrol beberapa fasilitas on shore dan off shore perusahaan ini.


Saya tidak begitu keberatan akan tugas tersebut, tapi yang membuat keadaan berbeda adalah ketika di Houston dulu Martin belum menjadi 'petinggi' alias masih bisa saya ajak nongkrong di restoran saat weekend dan belum ada rasa canggung terhadapnya. Kini, tentu saja sudah berubah, tapi tak apalah, toh memang dia yang meminta bukan?

Beberapa hari kemudian, tibalah Martin di Indonesia, masih dengan perawakan Texas-nya yang gempal lengkap dengan aksennya yang kental itu. Ah, masih seperti yang dulu.

Nasib berkata lain. Ketika akan melakukan inspeksi ke Laut Cina Selatan, pesawat dari Halim penuh. Maka kita punya tiga hari yang kosong yang akan terbuang. Atas saran VP, akhirnya saya memutuskan untuk mengak Martin jalan-jalan ke Bandung via Ciater.

"Saya tidak menyangka Indonesia punya jalan tol sepanjang ini.." katanya ketika kita bergerak di tol Cikampek menuju Cipularang.

Saya cuma mesem-mesem saja, ya maklumlah, orang Amerika, saya pikir begitu.

Kita tiba di daerah Ciater tepat sebelum jam makan siang dan menghabiskan waktu di kawah tangkuban perahu kemudian setelah puas kami pun bergerak untuk mencari makan.

"Kamu mau makan barat atau Indonesia?" tanya saya pada Martin. Padahal saya tidak mengenal daerah itu sama sekali, saya cuma berharap ada Mc Donald atau KFC yang bisa menyelamatkan makan siang orang Texas ini.

"Boleh lah kita coba makanan lokal, itung-itung berpetualang hehe.." Martin kelihatannya tidak begitu mempermasalahkannya. Ah sukurlah..

Akhirnya saya memutuskan untuk makan di sebuah restoran Sunda yang kelihatannya sangat representatif dan bersih. Saya suruh supir untuk masuk kepelataran parkir, kami berdua pun masuk ke restoran itu.

Karena berada di sebuah resoran, maka pembicaraanpun tak jauh dari soal makanan. Saya tuntun orang Texas itu untuk memesan makanan yang kira-kira pas dilidahnya seperti ayam goreng, masakan yang ada sapinya (orang Texas kalau makan hampir selalu harus ada daging sapinya). Saya memesan makanan kesukaan saya disamping ayam, yaitu petai yang digoreng dan sambal terasi.

Ketika hidangan sudah ada didepan mata termasuk tahu goreng beserta cabai rawitnya, saya memperingatkan Martin untuk tidak menyentuh segala sesuatu yang berbau cabe, karena saya bertanggung jawab atas keadaannya disini. Bagaimana kalau dia tiba-tiba sakit perut? terus pingsan karena rasa pedas cabe rawit yang mana tahan itu.

"ah..gak masalah" katanya lantang setelah saya peringatkan

"Teman, masak kamu lupa, di Texas cabe itu biasa kami kunyah seperti kamu mengunyah nasi haha..." katanya meyakinkan

"Coba kamu lihat cabe itu" sambil menunjuk ke cabe rawit yang mendapingi tahu..

"Itu cuma seujuung kuku dari size cabe jalepano yang lebih besar dari ini" katanya sambil memegang ibu jarinya yang memang jumbo untuk memperagakan betapa besarnya cabe Texas yang dia maksud.

"Ok, baiklah kalau kamu memaksa, tapi saya tidak bertanggung jawab yah"

"Tenanglah teman, jangan khawatir, sekarang mana tadi cilli paste (sambel cobek) yang kamu maksud?"

Kemudian Martin menuangkan bukan satu sendok sambal terasi, tapi beberapa! duh, memangnya dia pikir ini saos tomat! yang lebih parah, ia adukkan sambal itu dengan nasi dan mulailah petualangnnya mencicipi cabe rawit made in Bandung itu.

Tidak lama kemudian dia cicipi juga cabe rawit beserta tahunya.

"Teman, ini adalah cabe terkecil yang pernah saya lihat, harusnya saya bawa pulang untuk suvenir haha.." katanya. Saya cuma tersenyum, lalu meneruskan makan.

Saya akhirnya berkonsentrasi penuh terhadap makanan karena asyik dengan petai dan sambal. Tapi tidak beberapa lama kemudian, tiba-tiba saya menyadari wajah Martin semakin memerah dan ia sudah meminum air es lebih dari tiga gelas. Dia terbatuk-batuk dan bibirnya seperti agak bengkak dan memerah. Saya mulai khawatir.

"Martin, kamu gak apa-apa kan?"

Martin mengibas-ngibaskan tangannya untuk menunjukkan bahwa dia baik-baik saja

"Gak apa-apa teman, saya hanya tersedak"

"Benar kamu cuma tersedak?" tanya saya lagi

"Iyah...makanan ini agak asing, jadi mulut saya belum terbiasa, oh tolong pangilkan waiter saya minta tambahan air dingin!"

Secepat itu pula saya panggil pelayan untuk membawakan satu jug besar air dingin beserta es nya. Belum juga pelayan itu menaruh jug beserta gelasnya, benda itu langsung disambar Martin, dan ia langsung minum dari jug. Saya cuma terpana dan kembali mengulang pertanyaan saya sebelumnya untuk memastikan orang Texas ini baik-baik saja.

"Tidak apa-apa, mungkin juga saya kepanasan, udara disini membuat kita terus berkeringat."

Ok lah, mungkin juga cuaca panas, tapi ini lembang! dan cuaca lumayan adem hari itu. Tapi jauh dilubuk hati saya yang paling dalam, saya merasa orang ini kepedasan. Dia disengat oleh cabe rawit made in Bandung yang dasyat. Jujur saja, saya yang makan sambal terasi itu juga kepedasan, tapi reaksi saya sedang-sedang saja karena sudah terbiasa.

Cabe nya boleh saja kecil dan kurang meyakinkan, tapi kalau sudah dikunyah oleh orang yang belum pernah merasakannya, tamatlah dia. Cabe jalepano yang jumbo pun tidak ada apa-apanya kalau dibanding cabe yang ini.

Dalam perjalanan menuju Bandung dari Lembang, Martin lebih banyak diam, mungkin masih lapar karena saya lihat dia tidak menghabiskan makanannya. Dia dikalahkan ego-nya sendiri. Lalu saya pecahkan keheningan.

"Hey, nanti kamu akan aku ajak belanja di Bandung, kita ke tempat-tempat yang eksotis, dan malamnya kita diner dimanapun kamu suka, mungkin seperti yang tadi Martin?"

Martin menoleh kearah saya saat itu juga, lalu menjawab

"nggak lah, kita cari McDonald saja..."


DIS - Bandung sometime in June 2007

Read more...

Thursday, November 27, 2008

The Beginning

Can a man write his own destiny?

It was a question poised by a friend on a beautiful evening by the Chao Phraya River in Bangkok. The lights from buildings nearby reflects on the water flow down below creating a fantastic crystal like movement, then it flashes twinkling lights under the shimmering moonlight.

The evening was too beautiful to describe, and such a question suddenly became all too sentimental which does require sentimental answer.

I had never planned my life, unlike the mighty Chao Phraya that is shaped in each and every turn and twist, then the water helplessly ends in the Gulf of Thailand and into the South China Sea. I never knew what I've always wanted to be.

One thing for certain, it has been a fantastic journey that began in small village on the foot of the Salak mountain, a journey that took me to major corners of the world leaving stories behind, memories and 'life' as you'd call it, great friends and 'counterparts' in Sydney, Bangkok, Washington, Houston, Singapore, Jakarta, and of course the rain city.

The stories will be kind to me, for I intend to write it...

Read more...