Monday, January 26, 2009

The American From Denpasar (Part II)

Adam adalah sarjana Antraopologi dan mendapat tugas penelitian di Denpasar pada saat ia masih menjadi mahasiswa di sebuah perguruan tinggi di Amerika Serikat. Ia langsung jatuh cinta pada Bali dan Indonesia tentunya. Lucunya, pada saat ia diharuskan memilih negara tujuan penelitian, dia memilih Swiss karena ia tahu betul keindahan negri Eropa itu. Tapi sayang, sudah ada mahasiswa lain yang memilih Swiss sebagai tujuan belajar. Pada saat itulah dosennya menganjurkan ia untuk memilih Indonesia.

“Indonesia?” katanya heran. Adam hampir tidak pernah mendengar apapun tentang negara itu. Sewaktu di Bangkok dia bercerita, bahwa ketika dia pulang ke rumah hari itu, hal yang pertama ia lakukan adalah membuka peta dan mencari lokasi Indonesia. Negara itu bagaikan sebuah negri antah berantah baginya. Awalnya ia kehilangan semangat, tetapi pada akhirnya mau tidak mau dia terbang juga dan memulai tugasnya di Bali. Pada kesempatan itu pulalah Adam sempat mengunjungi daerah lain selain Bali, dan tidak butuh waktu yang lama baginya untuk jatuh cinta pada Indonesia, terutama gaya pergaulan anak-anak mudanya yang katanya “asik-asik aja” alias “easy come easy go”.

Kedutaan Amerika Serikat di Merdeka Selatan adalah tempat dimana kami dipertemukan. Entah dari berapa ratus orang peneliti yang dihubungi dan menciut menjadi 20 orang, kami para peneliti mendapat giliran wawancara setelah ujian demi ujian yang kami lalui. Dari 20 itu kemudian menciut menjadi lima dan kemudian menjadi tiga. Dari tiga itu akan diambil 2 orang yang akan diterima dan langsung diterbangkan ke Bangkok.

Pada saat itulah, setelah beberapa kali wawancara, saya sudah mulai yakin bahwa saya akan menjadi salah satu dari dua orang ilmuwan Ilmu Politik yang akan terpilih. Kenapa saya begitu yakin? Pada wawancara terakhir itu Adam mendadak “Indonesia”.

“Sudahlah, capek juga yah ngobrol dalam bahasa Inggris, kita pake bahasa Indonesia aja yah” katanya. Saya terbengong-bengong mendengarkan ucapannya yang Crystal Clear ke-Indonesiaannya.

“Ya kalau bapak mau” sambil mengenyeritkan dahi. Dia tersenyum, dan mengatakan bahwa dia masih seumuran dengan saya dan tidak usah memanggil dia dengan sebutan bapak. Lalu semuanya menjadi sangat ringan, kita ngobrol sambil tertawa. Tawa kami hampir dapat terdengar keluar ruangan karena setelah saya selesai salah satu asisten disana bertanya,

“hmm wawancaranya seperti teman lama yang sudah lama tidak berjumpa yah” kata asisten perempuan setengah baya itu. Saya hanya tersenyum.

Obrolan kita tidak jauh dari obrolan sehari-hari yang akan diingat sepanjang masa. Saya ingat ketika dia bertanya,

“eh kamu kan dari Bogor, pernah naek gunung Salak nggak”

“wah, bukan pernah lagi, seriiiing” saya jawab tanpa memberitahu dia bahwa saya bahkan sudah mendaki gunung itu waktu liburan kelas 6 SD sendirian.

“Ya udah, tar ajak saya yah, saya udah coba Gede, Pangrango, sama gunung-gunung lain di Jawa, anehnya Gunung Salak justru saya belum haha..”

Lalu obrolanpun mengalir, dan saat itulah saya berfirasat bahwa orang ini akan menjadi seorang sahabat dikemudian hari, dan memang demikianlah keadaannya selanjutnya.

Hanya berselang beberapa hari setelah proses seleksi yang memakan waktu berbulan-bulan itu usai, telepon saya berdering ditengah kesibukkan penelitian yang saya lakukan untuk Assessment Groups International.

“Halo Dud, passport-mu masih valid kan?” kata suara dari seberang sana

“ya..” saya jawab

“ok, come and see Miss Andretti at the Embassy first thing tomorrow, and see you in Bangkok!” katanya. Saya masih tertegun saat itu ketika Adam mengatakan..

“hey, are you excited?... jangan lupa Indomie sama rendang-nya yah…inget, dari restoran Sederhana…!”

~ end

Read more...

Monday, January 12, 2009

The American From Denpasar (Part I)

“Rest yourself satisfied by doing well and leave others do as they please”

Phytagoras

Watergate adalah sebuah hotel di Washington DC, hampir bersebrangan dengan Georgetown University, sekolah impian para sarjana ilmu politik termasuk saya sendiri. Sebelah barat hotel itu menghadap ke sungai Potomac yang membeku dikala musim dingin. Jika anda membuka kamar hotel itu dan kebetulan anda mendapat kamar yang menghadap ke barat, maka sungai Potomac akan terlihat sangat jelas membentang membelah Washington. Jika anda berjalan kurang lebih 7 kilometer ke arah timur dan menyusuri taman kota, anda akan sampai di Capitol Hill, salah satu simbol demokrasi negara adidaya itu.

Washington akan terlihat lebih indah pada musim gugur, ketika daun Mapple berubah menjadi merah menyala seperti api. Jika dilihat dari udara, kalau kita akan mendarat di Bandara Dulles International dan melongok keluar jendela, kumpulan pohon-pohon mapple yang merapat itu terlihat seperti lukisan seorang maestro, kombinasi merah menyala dan oranye dihamparan rumput nan hijau membentuk lukisan yang tak dapat dinilai harganya.

Sebuah ketukan di pintu kamar saya di Watergate membangunkan saya dari lamunan. Adam Canby, adalah seorang sahabat lama yang dulu bertugas di Kedutaan Besar Amerika Serikat di Bangkok. Masih seperti dulu, dengan kepalanya yang pelontos dan tinggi badannya yang tidak terlalu tinggi untuk ukuran orang Amerika, ia menyapa saya.

Tidak akan ada yang percaya bahwa dia orang Amerika kalau anda belum pernah bertemu dengan Adam lalu berbicara lewat telepon, dan mengobrol dalam bahasa Indonesia. Bahasa Indonesianya sudah seperti layaknya orang-orang Indonesia berbicara sehari-hari, tidak ada kekakuan pada lidahnya. Yang lebih mencengangkan lagi, dia doyan rendang dan teh botol, dan lebih parah lagi dia doyan indomie dan pernah meminta saya membawakan satu kardus penuh indomie dari Jakarta untuknya ke Bangkok.

Kita mengobrol di hotel sampai larut malam, membicarakan banyak hal tentang masa lalu sampai membahas kemungkinan kamar yang saya tempati adalah kamar yang sama dimana skandal Watergate yang menjatuhkan Presiden Richard Nixon dimulai.

“kamu bawa indomie gak…haha” katanya yakin

“hey, ini bukan Dong Muang Bangkok, jangankan indomie, kalau ada kecoa yang ikut koper saya aja gak bakalan lolos custom sini!”

Adam tertawa, kemudian menghisap rokok kretek pesanannya yang saya bawakan. Orang seperti dia inilah yang kadang membuat saya menyesali keputusan untuk meninggalkan pekerjaan di pemerintahan Amerika Serikat. Orang-orang Amerika yang unik, yang mungkin dilatih untuk menjiwai bangsa asing sampai ke bahasa tubuhnya. Demikian pula Adam, saking menjiwainya ia menjadi lebih Indonesia daripada orang Indonesia sendiri. Adam yang kini menjabat Deputy Bureau Chief di New Delhi India, dulu pernah saya ajak jalan-jalan di Bogor naek angkot dan makan hidangan Sunda di Jalan Padjadjaran dan melahap habis makanannya, dan lebih hebat lagi, dia tidak menggunakan sendok alias langsung dari tangan ke mulut layaknya kebanyakan dari kita orang Indonesia.

Ada satu pengalaman yang unik, ketika saya menginap di Apartemennya di Bangkok, kebetulan ada salah satu teman kita juga orang Australia, Joe namanya yang ikut menginap. Dia ini sejenis Adam yang ke-Indonesiannya kadang melebihi kita-kita. Dalam salah satu momen, kedua orang bule itu mengobrol di balkon rumah Adam dan terlibat obrolan yang seru dalam bahasa Indonesia. Saya yang sedang menikmati hidangan di meja makan sempat melongok keluar sambil mendengarkan pembicaraan kedua orang itu.

Keduanya menghisap rokok kretek, dan saya ingat salah satu pembicaraan mereka adalah seputar restoran mana yang paling enak di Jakarta.

“wah, bapak belum pernah ke daerah Sentiong, disitu ada sop kambing yang mantep” kata Adam

“eeh aku tau itu Dam…tapi lebih enak lagi yang di daerah Wahid Hasyim..wuiih…”

Saya Cuma terbengong-bengong mendengarkan obrolan mereka, lha saya aja gak tau tuh ada sop kambing yang enak di Sentiong…ada-ada saja melihat dua orang bule ngobrol dalam bahasa Indonesia sambil membicarakan restoran di Jakarta andalan masing-masing sambil menghisap roko Kretek, dan lebih mencengangkan lagi mereka memanggil satu sama lain dengan sebutan “pak” alias “bapak”.

Orang-orang seperti merekalah yang membuat saya jatuh cinta pada pekerjaan saya terlepas dari kontroversi yang menyelimutinya. Kami adalah sekumpulan orang-orang dengan cara pandang yang berbeda, dan perbedaan itu pulalah yang juga banyak menimbulkan masalah dan peristiwa-peristiwa yang mengharukan sekaligus menegangkan dalam perjalanan hidup kami…

(To be continued…)

Read more...