Monday, January 12, 2009

The American From Denpasar (Part I)

“Rest yourself satisfied by doing well and leave others do as they please”

Phytagoras

Watergate adalah sebuah hotel di Washington DC, hampir bersebrangan dengan Georgetown University, sekolah impian para sarjana ilmu politik termasuk saya sendiri. Sebelah barat hotel itu menghadap ke sungai Potomac yang membeku dikala musim dingin. Jika anda membuka kamar hotel itu dan kebetulan anda mendapat kamar yang menghadap ke barat, maka sungai Potomac akan terlihat sangat jelas membentang membelah Washington. Jika anda berjalan kurang lebih 7 kilometer ke arah timur dan menyusuri taman kota, anda akan sampai di Capitol Hill, salah satu simbol demokrasi negara adidaya itu.

Washington akan terlihat lebih indah pada musim gugur, ketika daun Mapple berubah menjadi merah menyala seperti api. Jika dilihat dari udara, kalau kita akan mendarat di Bandara Dulles International dan melongok keluar jendela, kumpulan pohon-pohon mapple yang merapat itu terlihat seperti lukisan seorang maestro, kombinasi merah menyala dan oranye dihamparan rumput nan hijau membentuk lukisan yang tak dapat dinilai harganya.

Sebuah ketukan di pintu kamar saya di Watergate membangunkan saya dari lamunan. Adam Canby, adalah seorang sahabat lama yang dulu bertugas di Kedutaan Besar Amerika Serikat di Bangkok. Masih seperti dulu, dengan kepalanya yang pelontos dan tinggi badannya yang tidak terlalu tinggi untuk ukuran orang Amerika, ia menyapa saya.

Tidak akan ada yang percaya bahwa dia orang Amerika kalau anda belum pernah bertemu dengan Adam lalu berbicara lewat telepon, dan mengobrol dalam bahasa Indonesia. Bahasa Indonesianya sudah seperti layaknya orang-orang Indonesia berbicara sehari-hari, tidak ada kekakuan pada lidahnya. Yang lebih mencengangkan lagi, dia doyan rendang dan teh botol, dan lebih parah lagi dia doyan indomie dan pernah meminta saya membawakan satu kardus penuh indomie dari Jakarta untuknya ke Bangkok.

Kita mengobrol di hotel sampai larut malam, membicarakan banyak hal tentang masa lalu sampai membahas kemungkinan kamar yang saya tempati adalah kamar yang sama dimana skandal Watergate yang menjatuhkan Presiden Richard Nixon dimulai.

“kamu bawa indomie gak…haha” katanya yakin

“hey, ini bukan Dong Muang Bangkok, jangankan indomie, kalau ada kecoa yang ikut koper saya aja gak bakalan lolos custom sini!”

Adam tertawa, kemudian menghisap rokok kretek pesanannya yang saya bawakan. Orang seperti dia inilah yang kadang membuat saya menyesali keputusan untuk meninggalkan pekerjaan di pemerintahan Amerika Serikat. Orang-orang Amerika yang unik, yang mungkin dilatih untuk menjiwai bangsa asing sampai ke bahasa tubuhnya. Demikian pula Adam, saking menjiwainya ia menjadi lebih Indonesia daripada orang Indonesia sendiri. Adam yang kini menjabat Deputy Bureau Chief di New Delhi India, dulu pernah saya ajak jalan-jalan di Bogor naek angkot dan makan hidangan Sunda di Jalan Padjadjaran dan melahap habis makanannya, dan lebih hebat lagi, dia tidak menggunakan sendok alias langsung dari tangan ke mulut layaknya kebanyakan dari kita orang Indonesia.

Ada satu pengalaman yang unik, ketika saya menginap di Apartemennya di Bangkok, kebetulan ada salah satu teman kita juga orang Australia, Joe namanya yang ikut menginap. Dia ini sejenis Adam yang ke-Indonesiannya kadang melebihi kita-kita. Dalam salah satu momen, kedua orang bule itu mengobrol di balkon rumah Adam dan terlibat obrolan yang seru dalam bahasa Indonesia. Saya yang sedang menikmati hidangan di meja makan sempat melongok keluar sambil mendengarkan pembicaraan kedua orang itu.

Keduanya menghisap rokok kretek, dan saya ingat salah satu pembicaraan mereka adalah seputar restoran mana yang paling enak di Jakarta.

“wah, bapak belum pernah ke daerah Sentiong, disitu ada sop kambing yang mantep” kata Adam

“eeh aku tau itu Dam…tapi lebih enak lagi yang di daerah Wahid Hasyim..wuiih…”

Saya Cuma terbengong-bengong mendengarkan obrolan mereka, lha saya aja gak tau tuh ada sop kambing yang enak di Sentiong…ada-ada saja melihat dua orang bule ngobrol dalam bahasa Indonesia sambil membicarakan restoran di Jakarta andalan masing-masing sambil menghisap roko Kretek, dan lebih mencengangkan lagi mereka memanggil satu sama lain dengan sebutan “pak” alias “bapak”.

Orang-orang seperti merekalah yang membuat saya jatuh cinta pada pekerjaan saya terlepas dari kontroversi yang menyelimutinya. Kami adalah sekumpulan orang-orang dengan cara pandang yang berbeda, dan perbedaan itu pulalah yang juga banyak menimbulkan masalah dan peristiwa-peristiwa yang mengharukan sekaligus menegangkan dalam perjalanan hidup kami…

(To be continued…)

2 comments:

  1. pertamaxx...
    iiihhh mana nu sundanese dilemma???
    naha dihapus??? :P

    ReplyDelete
  2. keduax...

    iyah naha bet dihapus? teu kaci ah..

    ReplyDelete