Sunday, February 15, 2009

Summer Hill II

“Don’t go to where the path my lead, but go to where there is no path, then lead a trail…”

Daun-daun berjatuhan di musim gugur diterpa angin dingin dari selatan yang menghembuskan kekuatannya, membangunkan mahluk hidup untuk bersiap menghadapi musim dingin. Langit lebih sering kelabu, diselimuti awan yang tebal dan hujanpun turun lebih sering dibanding musim-musim lainnya.

Taman di Summer Hill jarang saya kunjungi di musim ini. Angin yang berhembus kencang membuat kita menggigil dan membuat bibir menjadi kering dan retak. Rumput yang hijaupun ditutupi oleh daun-daun eucalyptus yang kering dan kecoklatan, sungguh suasana yang menjemukkan. Dari jendela kamar saya, terlihat pohon-pohon seolah digunduli dan menyisakkan ranting-ranting yang membeku seolah meratapi nasibnya, ditinggal oleh daun-daun yang selama ini menyelimutinya.

Waktu mundur satu jam di musim gugur menjelang musim dingin sesuai pengumuman pemerintah, dan dimulailah hari-hari yang pendek, jam tujuh pagi bagaikan subuh dan jam empat sore matahari sudah hampir tak menampakkan dirinya lagi. Berangkat ke sekolah adalah perjuangan yang berat di musim ini. Menulusuri Sloane St, Summer Hill menurun sampai ke Jalan besar dan menunggu bis di Parramatta Road di tengah cuaca yang tidak menyenangkan.

Hanya sahabat-sahabat saya lah yang membuat berangkat ke sekolah menjadi agak ringan. Mereka biasanya sudah menunggu di sisi timur Fort Street, di anak tangga yang menuju ke lapangan basket. Disitulah tempat kami berkumpul dan bercengkrama sejak pertama kali persahabatan itu kami bangun dari awal-awal masa sekolah.

Eric Paul, Nigel Boney, Sung Ahn, Leo Poljack, dan Kuveshen Pather adalah sekumpulan sahabat yang selalu menghiasi hari-hari saya kala itu. Ada pula satu orang sahabat kental lagi di sekolah itu, Algius Lencus seorang jenius asal Romania yang agak pendiam, sayang dia tidak pernah bisa bergaul dengan kelompok sahabat-sahabat saya yang lain walaupun ia sering saya ajak bergabung. Si jenius yang aneh, kata teman-teman saat itu.

Dengan mereka pula saya belajar merokok, kebiasaaan buruk yang sungguh sukar saya hilangkan. Kenakalan kami sebatas merokok saja, tidak ada satupun diantara kami yang suka membuat onar, bahkan tidak ada satupun diantara kami yang mencoba-coba menggoda teman perempuan Fort Street, walaupun keinginan itu selalu ada dan kerap menjadi perbincangan di sesi makan siang.

“Coba kalau berani, kamu ajak Ilona Zebrowski makan malam” kata Eric kepada saya. Ilona adalah gadis tercantik disekolahan, seorang gadis Polandia bermata biru dan berambut pirang, dan ya, bisa ditebak, ia adalah primadona Fort Street saat itu. Pernyataan Eric selalu mengundang tawa, ia seperti seorang natural leader di kelompok kami, apapun yang ia katakan hampir selalu mengundang perhatian dan tampaknya ia juga tahu kalau saya suka gemetaran bila berada disamping perempuan cantik seperti Ilona.

Eric dan teman-teman yang lain tidak tahu, kalau disuatu siang dikelas, Ilona pernah menghampiri saya dan duduk disebelah bangku saya. Sungguh itu adalah momen yang langka, padahal saya lumayan mengenal Ilona karena beberapa kali berada satu kelompok dengan gadis itu dalam tugas sekolahan. Memang, sekenal-kenalnya saya pada dirinya, tidak pernah sekalipun kami membicarakan masalah pribadi kecuali yang bersifat basa-basi dan yang berhubungan dengan tugas sekolahan.

Adalah dihari itu, tiba-tiba dia menyapa sambil sedikit memiringkan wajahnya yang ditopang oleh tangannya. Terlihat jelas matanya yang biru dan agak sayu…

“eh, maaf yah, tapi kamu tahu gak, kamu tuh orang Asia yang paling cute yang pernah saya lihat”

Jika anda punya pengalaan tersetrum listrik di rumah, maka hal itulah yang saya rasakan saat itu, badan tiba-tiba menjadi kaku dan udara dingin berubah menjadi panas. Saya cuma bilang kepadanya bahwa dia sedang “day dreaming”, tapi Ilona melemparkan senyumnya yang bisa membunuh kaum adam manapun di muka bumi dan mengatakan bahwa sudah lama ia ingin mengatakannya, dan dia juga bilang kalau ucapan itu tak bermaksud apa-apa selain karena ia adalah orang yang tidak dapat menyembunyikan apa yang ada dalam benaknya.

“That’s fine” timbal saya sambil memasang muka kalem. Padahal itulah salah satu momen terpenting dalam hidup saya. Seumur-umur tidak pernah ada satu perempuanpun yang mengatakan hal seperti itu, terlebih dari seorang Ilona Zebrowski. Tapi saya tidak pernah menceritakan hal ini pada Eric Paul, apalagi pada Kuveshen Pather yang terkenal kocak dan rajin mencela itu. Sudah pasti, tidak akan ada yang mempercayainya.

Satu orang yang mungkin percaya adalah Sung Ahn, si Korea relijius itu. Diantara kami, dia adalah orang yang hampir tidak pernah mencela, kata-katanya tersusun rapi bak sebuah pidato kenegaraan yang sudah disusun oleh protokoler gedung putih. Jika ada satu hal yang selalu saya ingat tentang Sung, adalah dia kerap mengajak saya untuk mengikuti jejaknya menjadi seorang Katolik.

Tentu saja dia selalu mengajak berdialog seputar masalah agama dan ke-Islaman saya. Tapi saya sangat mencintai Sung sebagai seorang sahabat, sehingga saya selalu meladeni obrolan seputar agama ini dengan tenang dan menjauhi perdebatan. Tidak pernah sekalipun ia menghina atau memojokkan agama saya. Saking menghormati Sung sebagai sahabat, saya pernah juga mendaftarkan diri untuk bergabung dengan kegiatan ekstra kurikuler agama yaitu kelas “siraman rohani” Katolik hanya karena Sung membujuk saya berkali-kali. Sungguh saya mengikuti kelas itu hanya karena saya tidak sampai hati pada Sung yang tak kenal lelah ingin “mengkonversi” saya menjadi penganut agamanya. Sampai sekolah berakhir saya selalu mengingatkan dia untuk tetap menjadi seorang Katolik yang baik.

“So is there a change of heart?” katanya diakhir masa sekolah

Saya hanya terseyum sambil menyalaminya, “Everthing stays the same, just like our friendship that I’m sure will last till the end”. Sung terlihat tegar walaupun terasa ada sedikit kekecewan di wajahnya. “Kamu orang terbaik diantara yang lain, karena itu saya merasa ada sesuatu yang harus melengkapinya, I’m sorry” katanya…

Persahabatan kami berlangsung sampai saat ini walaupun mereka hanya sering saya jumpai di Facebook, dan pernah pula saya sempat menjumpai Eric di Sydney. Saya hanya bisa menjumpai dia, karena yang lain sudah bertugas dimanca negara. Pada pertemuan itulah kami mengingat satu momen yang membuat kami menjadi lebih erat, sebuah momen yang takkan terlupakan sepanjang hidup kami, karena hampir saja kami berenam menjadi hanya tinggal nama alias mati bersama-sama. Kejadian itu terjadi pada saat kami berenam terlibat dalam acara camping sekolahan di pegunungan di selatan Sydney, sebuah kejadian fatal yang diakibatkan oleh ketololan kami sendiri…

(To be continued…)

7 comments:

  1. well.. well..
    sepertinya posting akan berlanjut dengan kisah persahabatan yang mengharukan juga cerita hidup yang aga2 melodramatis ;)

    lanjut kaaaang...

    ReplyDelete
  2. eh satu lagi kang... bitah ge teu percaya si neneng bule punya tujuan menyanjung akang dengan bilang "cute" *itu mah akang wee geer..

    tau ga apa arti "cute"? bodor tau.. xixixi...

    ReplyDelete
  3. Naha Lies mah gak bisa baca tulisannya ya???? Ngan kaciri fotona hungkul. Aneeeehhhhhhhhhh....

    ReplyDelete
  4. Tah ayeuna nembe tiasa maca...naha tadi mah teu kaciri tulisanna???
    Numana sih Ilona Zebrowski teh? :D
    Ah angger weh bersambung deui wae :P

    ReplyDelete
  5. Ilona Zebrowsi teh sigana Polandia's last flower tea Lies xixixi...
    btw bitah meni teu rido kitu kang dudi disanjung ku nu geulis ih, teganyah... teganyah :p

    ReplyDelete
  6. sane teu rido teh.. ngan teu percanten... bade dipaksakeun ge.. :lol

    ReplyDelete
  7. salam kenal mas dudi
    wah blognya asyik

    bisa tukeran link?
    tx ya

    ReplyDelete